Rabu, 11 Desember 2013

Cerpen "Buah Mangga"

Karya : Uswatun Hasanah

Namaku Salsabila, terlahir dari keluarga yang sederhana. Sederhana layaknya keluarga-keluarga lainnnya. Satu ayah, satu ibu, hanya saja nggak punya kakak. Adik dua dan laki-laki semua. Ayahku seorang petani bernama Prasetyo dan aku bangga punya ayah seorang petani. Ya, walau pekerjaan ini kalah gengsi dengan orang-orang yang berdasi, setidaknya menjadi petani hanya punya sedikit peluang untuk korupsi karna memang tak ada yang bisa dikorupsi. Setiap pagi ayahku memikul cangkul dan berpakaian tidak rapi memang, tapi setidaknnya hatinya tetap suci dengan selalu menyapa orang-orang yang ia lewati, hal yang sangat mustahil dilakukan orang-orang bermobil mewah seperti tetangga sebelah. Fiuhh!!
 Seperti yang ku bilang tadi, keluargaku memang sederhana. Menjalani rutinitas dengan sederhana pula. Jika setiap pagi ayahku harus berjalan menuju sawah dengan membawa cangkul, ibuku setiap pagi harus menyiapkan keperluan keluarga layaknya ibu rumah tangga normal lainnya. Sarapan. Tak pernah lupa ibu untuk menyiapkan hal yang dianggap sepele oleh ibu-ibu kantoran yang setiap pagi harus sudah rapi. Dan hey mana sudi mereka menyentuh piring-piring kosong apalagi peralatan masak di sapur. Semua urusan ini mereka anggap beres dengan membayar manusia lain untuk menyelesaikan tugas yang seharusnya ibu-ibu rumah tangga lakukan. Namun urusan ini tak sepele bagi ibuku, urusan menyiapkan sarapan baginya bukan hanya sekedar membuat masakan enak, membuatkan susu, menyiapkan bekal sekolah. Urusan ini soal cinta dan pengabdiannya sebagai seorang istri yang mencari ridho sang suami.
Dua adik. Itu artinya dua karakter manusia yang berbeda lagi dalam keluargaku. Si Bungsu Adhi Restu baru berusia 5 tahun 8 bulan. Usia yang mungkin masih terlalu dini untuk duduk di bangku kelas satu sekolah dasar, adikku ini memang lebih cerdas dari anak-anak seusianya. Sejak lima bulan sebelum masuk SD adikku Adhi sudah bisa membaca walau masih dieja. Dan tepat sebulan sebelum pendaftaran, Adhi sudah bisa menulis. Tak heran jika Adhi diterima di SD favorit kecamatan desa kami. Adik yang paling jago kalo membuat kakaknya jengkel karna ulahnya ini, selain pandai juga dapat dikategorikan sebagai anak cengeng. Tak mau disalahkan padahal jelas-jelas dia salah. Persis seperti ketika Adhi mengaji bersamaku.
 “Bismillahirrahmanirrahiim.”
….
“Abyadhu minallah… afdholu min kum..”
“Kalau nun mati bertemu kaf itu  bacanya ‘ng’ Dhi. Ayo ulangi”
“Bener kok yang Adhi baca!”
“Salah Adhi. Ayo ulangi!!!”
“………….”
“Bener!! Buk, Kak Salsa nakal…”

***

Sarapan pagi ini standar. Nasi. Orak-arik. Telur ceplok. Air putih. Dan ditutup dengan buah murah meriah harganya. Papaya. Hanya saja satu yang membuat sarapan setiap pagi terasa lebih dari standar canda tawa dan keributan antara aku dan Adhi membuat pagi yang sejatinya di luar sana mendung menjadi sebaliknya di ruang makan yang kebetulan sekaligus menjadi ruang tamu karna memang rumah kami tidak menyediakan ruangan khusus untuk makan. Rumah dengan luar 10x9 meter yang kami tempati hanya cukup untuk membuat satu kamar tamu, 3 kamar tidur, dapur dan kamar mandi serta gudang penyimpanan padi.
Pagi ini hari memang mendung. Oleh sebagian orang dianggap cuaca tidak mendukung untuk beraktivitaslah. Cuaca buruklah. Cuaca tak bersahabarlah. Atau berbagai macam keluh kesah lainnya. Ah, bukankah manusia memang hobi untuk mengomentari suatu hal. Dan bukankah kalau dipikir-pikir amat lucu. Ketika cuaca mendung orang-orang berkeluh kesah soal cucian tak keringlah, jalanan beceklah, ke kantor jadi basah. Dan ketika terik matahari bersinar dengan gagahnya orang-orang bilang panaslah, bikin itemlah, harus pake sunblock, kemana-mana susah harus bawa payung. Hey, bukankah kalian sendirilah yang membuat susah dan ribet dalam urusan cuaca.
Berbeda dengan yang orang lakukan saat cuaca tak berpihak kepada mereka, ayahku tak pernah mengeluh untuk urusan cuaca macam ini, bahkan walau terkadang ayah gagal panen karna salah memprediksi cuaca. Tapi ayah selalu mengajarkan kalimat sederhana bahwa cuaca tidak akan pernah menyesuaikan kebutuhan manusia dan seharusnya manusialah yang menyesuaikan cuaca, jadi buat apa mengeluhkan cuaca yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Ayah benar, cuaca memang tidak akan pernah menyesuaikan keinginan manusia karna jika cuaca menyesuaikan keinginan manusia itu berarti dalam sehari akan ada berapa macam cuaca karna di dunia ini ada bermacam manusia pula.
Cuaca buruk pun beda pandangan lagi di mata adik saya Nugraha. Adikku yang pendiam dan tak banyak berbicara. Namun dibalik sikapnya yang seperti itu dia terlampau dewasa untuk anak seusianya. Dalam menyelesaikan masalah pun terkadang lebih bijaksana daripada saya. Mungkin pepatah ‘diam itu emas’ berlaku buat adikku. Pun pagi ini, semenjak sarapan tadi ku perhatikan ia hanya makan tanpa suara dipojok meja. Aku dan Adhi sibuk bertengkar ia hanya makan dan tak menggubris apa yang terjadi di meja makan. Diam. Bahkan cuaca semacam ini tak membuatnya banyak berubah. Entahlah apa yang selalu adikku pikirkan dalam banyak diam-diam yang ia lalui. Aku tak tahu.

***

Ruang kelas terlihat rapi seperti biasanya. Meja dan kursi selalu menempati tempatnya dan tak pernah berpindah kecuali si penghuni memindahkannya. Kelas ini masih menggunakan papan tulis sebagai layar ilmu setiap guru yang hendak membagi ilmunya. Kapur tulis tertata rapi di kanan papan tulis pun dengan penghapusnya. Lantainya yang masih bertegel membuat suasana ruang kelas serasa kelas jaman SD dulu.
Guru disini selalu masuk kelas tepat pada waktunya. Tidak. Tidak selalu nyatanya. Sudah 10 menit dari bel belum satu pun guru masuk kelas. Bukan masalah besar. Justru menjadi kabar menyenangkan karna berarti jam bermain-main dan temu kangen dengan teman sebangku bertambah.
Aku? Jangan tanyakan soal aku. Aku duduk sendiri. Tak ada teman sebangku yang ku ajak bicara. 10 menit terasa membosankan. Sebagai murid pindahan kelas sebelah, kelas ini sulit untuk menyesuaikan karakterku. Tidak. Bukan kelas ini yang sulit menyesuaikan tapi aku yang sulit beradaptasi dengan kelas ini. Mewah. Glamor. Orang-orangnya yang sombong membuat aku sulit untuk menyesuaikan kelas ini. Mengingat aku hanya gadis sederhana. Dari keluarga yang tak begitu berada. Hidup dengan kemewahan seperti mereka tidak sesuai dengan kehidupanku.
Salam dari Bu Anna menyadarkan lamunanku. Hey siapa gadis itu. Sepertinya murid baru. Dan sepertinya orang kaya. Sialnya aku harus sebangku dengannya karena hanya memang kursi disebelahkulah yang masih kosong. Dengan perkenalan yang standar berjabat tangan, sebut nama dan ia pun menyebut namanya. Rania. Murid baru ini namanya Rania. Tinggal di perumahan elit di kota. Agaknya jika dilihat dari senyuman dan caranya menerima jabat tanganku tadi, Rania ini tidak sombong. Syukurlah.

***

“Kak, ambilkan sepatu Adhi.”
“Enak aja! Ambil sendiri!”
“Kak Salsa galak! Adhi nggak suka. Gitu aja nggak mau ngambilin”
“Nggak pake kata sandi sih.”

Seperti biasa, setiap pagi rumah tengah sawahku ini selalu ramai kalau paginya adalah Hari Senin. Hari dimana weekend sudah berakhir dan pelajar-pelajar seperti aku dan adik-adikku harus bangun pagi, sarapan pagi, mandi pagi dan tentunya olah raga mulut pagi karna setiap pagi harus adu mulut dengan adik-adikku. Entah bererbut kamar mandi, berebut tempat duduk atau masalah sepele seperti ketika adikku menyuruhku mengambilkan sepatu.

“Kan sudah kakak bilang kalo mau nyuruh-nyuruh tu pake kata sandi ‘tolong’. Emangnya kakak budak!”

Sudah tugasku sebagai anak sulung untuk memberikan pelajaran-pelajaran hidup dan kehidupan kepada adik-adikkku, bahkan hanya untuk sekedar mengajarkan kata ‘tolong’ setiap pagi saat adikku selalu menyuruhku mengambilkan sesuatu. Entah itu tas, sepatu, sarapan, bahkan kaos kaki. Sebab dulu ibukku sempat berpesan kepadaku “Salsabila, kamu sebagai sulung ibu. Ibu menaruh banyak harapan di pundakmu. Jadilah teladan dan guru bagi adik-adikmu setelah ibu ya Nak”.
Berat. Memang berat ketika sebuah amanat disandarkan ke pundak kita. Untuk anak yang baru saja menginjak dewasa sepertiku memang tidak mudah untuk mengemban amanat ini. Setidaknya amanat ini jauh dari peluang untuk korupsi. Karna memang bukan amanat untuk menjadi pejabat atau pegawai negeri. Melainkan untuk menjadi kakak yang meneladani dan menggurui. Tidak. Tidak untuk menggurui sepertinya, hanya saja mengajari.

***
Sempurna. Sunrise pagi ini sempurna menandai cerahnya pagi. Mungkin sepanjang hari cuaca akan cerah seperti ini. Burung berkicau dengan merdunya, ayam jago yang tak mau kalah pula dengan kokoknya. Induk ayam beserta anak-anaknya yang sibuk mencari sisa nasi untuk sarapan pagi dan ibuku juga tak ketinggalan dengan ritual paginya. Memasak. Dengan dapur yang hanya 2x3 meter ,sarapan pagi yang dihidangkan selalu istimewa. Karna ibukku menyiapkan dengan bumbu rahasia. Cinta.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah semua berjalan sesuai kodratnya. Seorang ayah berdasi dan berjas rapi dengan mobil mewahnnya berjalan menuju kantornya. Ibuk-ibuk berkeranjang dengan baju seadanya berjalan pulang dari pasar dengan sayur belanjaannya. Anak-anak berseragam merah putih, bertopi dan berdasi menuju gerbang SD Tunas Melati. Mereka tidak keliru untuk menjalani aktivitas paginya. Pun denganku. Berseragam putih abu-abu menuju gerbang SMA Harapan Bangsa.
Aktivitas di sekolah pun berjalan normal. Siswa-siswi berbaris lengkap dengan dasi dan topi untuk mengikuti upacara bendera. Matahari yang enggan menurunkan suhunya membuat banyak siswi jatuh pingsan. Ternyata tak semua orang bahagia dengan cerahnya pagi ini. Ah terkadang memang selalu begitu. Hal yang menurut kita membahagiakan belum tentu mendatangkan hal serupa di mata orang lain.

***
Jalan menuju rumah Rania tak semenyenangkan jalan menuju rumahku. Jika hendak menuju rumahku akan banyak dijumpai pohon rambutan, pohon manga tetangga sebelah, anak-anak yang dikejar pemilik pohon manga karna mengambil manga nggak bilang-bilang, pak tani yang sedang duduk di pinggir sawah usai membajak, pohon kelapa disana-sini, juga tak ketinggalan ibuk-ibuk yang mengomel karna anaknya bandel nggak mau mandi sampai sesiang ini.
Sepanjang jalan menuju rumah Rania hanya tiga hal yang aku jumpai. Satu, jalan raya dengan warna dominan hitam dengan garis putih ditengahnya. Dua, kendaraan roda dua, roda empat dan roda enam yang saling berebut jalan untuk menjadi yang terdepan. Tiga, nenek-nenek hendak menyebrang jalan.
Benar Rania adalah orang kaya. Lihat saja, rumahnya paling besar dari rumha-rumah sekitarnya. Kira-kira luas halamannya saja 5x6 meter, belum rumahnya yang berlantai dua. Dinding bercat putih bersih membuat rumah ini makin terlihat megah. Ruang tamunya lumayan besar. Dengan sofa dan guci mewah dipojok ruangan. Tak salah lagi kalau keluarga Rania memang orang berada. Pigura foto keluarga di depan memberitahuku bahwa Rania adalah anak tunggal tanpa aku harus bertanya. Sepertinya menyenangkan menjadi anak satu-satunya dalam keluarga, karna hanya akan ada satu yang dimanja, satu yang diberi uang jajan, satu yang akan selalu disayang. Tak akan pernah disalahkan saat adik nangis. Tak pernah dituntut untuk menjadi teladan bagi adik-adiknya.
Belum klimaks khayalanku jadi anak tunggal, Rania sudah kembali dari dapur dengan nampan berisi 2 gelas orange juice dan 2 toples makanan ringan. Benar saja banyak lelaki naksir Rania, coba kau lihat, senyumnya saja aduhai manis sekali, ditambah hatinya yang baik, kaya, pandai pula. Sepertinya hidup bahagia tu seperti Rania ini. Tapi bukankah ayahku pernah bilang “sesuatu yang kamu lihat nikmat itu tak senikmat ketika kamu merasakannya, tapi sesuatu yang kamu rasakan nikmat pasti sesuatu itu lebih nikmat dari apa yang kamu lihat”.
Ayah. Ternyata kau memang selalu benar. Petuah-petuah dan nasihat yang selalu kau berikan terbukti benar. Aku tahu sekarang maksud ayah. Dan jawaban dari petuah itu ada pada diri Rania. Tak kusangka anak dengan segala kebaikan hatinya mempunyai ibu seorang rentenir. Senyum manis yang selalu ia biarkan berkembang dibibirnya ternyata meyimpan beban derita yang mendalam. Tak pernah aku tahu kalau kehidupan Rania tak sesempurna yang aku bayangkan. Kini definisiku tentang ‘hidup bahagia tu seperti hidupnya Rania’ berubah 180 derajat.
 Aku yang bukan termasuk dalam golongan orang-orang berada bisa dibilang lebih bahagia dibanding Rania yang termasuk dalam golongan orang berada. Karna tak dapat disangkal bahwa tak selamanya uang akan membawa kebahagiaan sebab kebahagiaan tak dapat dibeli dengan uang. Kebahagiaan itu soal hati dan perasaan, tak dapat dibuat-buat atau bahkan diperjual belikan. Ibukku memang hanya seorang ibu rumah tangga tak berpenghasilan karna hanya ayahku yang mencari nafkah dalam keluarga kami. Tapi setidaknya ibukku tidak akan mencari uang tambahan dengan cara tidak hahal macam rentenir.
Perekonomian keluarga Rania diatas perekonomian keluargaku memang. Dengan ayah seorang pejabat daerah saja menurutku penghasilannya sudah lebih dari cukup. Tetapi ibu Rania sudah dibutakan oleh nafsu dunia. Gaji pokok yang diberikan sang suami ternyata tidak cukup sehingga membuatnya harus mencari uang dengan berbagai cara. Tak kenal halal, tak kenal haram, yang ia kenal asal itu menghasilkan uang maka jadilah pekerjaan tersebut menjadi profesi. Tak heran jika perekonomian Rania lebih dari rata-rata.

***
Rania. Seorang figure yang sempurna di mataku. Gadis cantik berambut panjang tergerai memancarkan aura cantik yang begitu menawan. Lesung pipit pipi kanannya menambah manis setiap senyuman yang merekah dibibirnya. Mata lebar, hidung mancung, gigi seperti biji timun yang berjajar rapi dimulutnya serta kulit putih bersih yang ia punya membuat Rania secara fisik terlihat sempurna. Belum lagi perilakunya. Jika ada yang jatuh ia segera menolong, ada guru keberatan membawa barang bawaan, secara reflek ia akan langsung menolongnya, saat melihat teman sebangkunya ini kesulitan pada sebuah mata pelajaran, pasti ia tak sungkan untuk menjelaskan ulang.
Remaja dengan usia 17 tahun ini tumbuh baik dengan sempurna. Dewasa pada waktunya. Baru kemarin ia menginjak usia tujuh belas tapi sepertinya ia layak disebut remaja dengan usia dua puluh. Bagaimana tidak, Rania mampu hidup dalam lingkungan keluarga yang tidak seprinsip dengannya. Keluarga yang tidak mendukungnya untuk menjadi seorang remaja yang berguna bagi lingkungannya. Tapi lewat keluarga yang seperti inilah Rania belajar tentang arti kesabaran, hakikat perjuangan, dan makna ketangguhan dalam menghadapi kehidupan yang tak sesuai keinginan kita.
Aku yang seusia dengannya mana sanggup setiap pagi harus mendengar ibuk dan ayahku bertengkar hanya gara-gara uang. Mendengar setiap keluhan ibu kepada ayah soal biaya hidup mahal. Meminta setiap apa yang diinginnya dengan cara yang tidak masuk akal. Boro-boro masuk, sebelum masuk akal udah mental duluan. Tapi ini tidak berlaku bagi Rania. Ia mampu bertahan dalam setiap pertengkaran yang terjadi antara ibu dan ayahnya. Ia selalu sabar menasehati pekerjaan ibunya yang tidak halal walau lebih sering kena marah daripada penghargaan. Ia selalu tegar ketika semua yang hendak dilakukannya ditolak mentah-mentah. Tak direstui.
Ya Tuhanku, bidadari macam apa yang telah melahirkan dan mendidik gadis remaja seperti Rania. Bagaimana orang tuanya mengajarkan semua pelajaran hidup kepada gadis ini sehinga ia tumbuh dewasa dengan sempurna. Tumbuh dewasa dengan senyum yang selalu meneduhkan. Bahkan sebelum sempat kita berkeluh kesah tentang beban hidup yang kita alami, hanya dengan melihat senyumnya saja telah mampu membuat hati ini tenang.  
Ku pikir Rania mempunyai sosok ayah yang bijaksana sehingga tumbuh menjadi remaja tanggung yang begitu dewasa. Ku pikir Rania mempunyai ibu yang lemah lembut, santun dalam kata, sopan dalam berbicara, dan mampu mengajarkan pelajaran-pelajaran hidup dan kehidupan dengan baik dan penuh dengan kasih sayang. Keliru. Ternyata semua yang aku pikirkan keliru. Riani tak pernah mempunyai ayah yang bijaksana. Walaupun ia seorang pejabat negara. Rania juga tak pernah mempunyai ibu seperti apa yang aku bayangan. Bahkan jauh dari apa yang aku bayangkan. Rania mempunyai ibu seorang rentenir. Dan boleh percaya atau tidak, itu faktanya. Rania tumbuh dewasa dengan ayah dan ibu yang gila harta.

***
Minggu kliwon. Saatnya aku melakukan kebiasaan minggu pagi belanja di pasar untuk membantu ibuku. Pagi ini pasar terlihat ramai seperti biasanya. Penjual ikan asin sedang tawar-menawar dengan seorang pembeli yang ngotot ingin membeli ikan asin dengan harga 3000 perkranjang. Sudah tahu harga apa-apa mahal semenjak kenaikan BBM masih tega saja tuh ibuk-ibuk nawarnya. Penjual beras yang ramai dikerubung pembeli. Maklum saja makanan pokok negeri ini adalah beras. Coba makanan pokok negeri ini gandum, pasti bukan penjual beras yang tak pernah sepi pelanggan melainkan penjual gandum.
Toko kelontong dekat pasar juga tak pernah sepi pelanggan. Selain tempatnya yang lebih nyaman untuk berbelanja, harga di toko ini juga tak terlalu jauh dengan harga kebutuhan pokok yang ada di dalam pasar. Mungkin hanya selisih berapa perak saja. Ibuk-ibuk dengan keranjang belanjaan penuh sayur pun masih belum puas dengan belanjaannya. Masih sempat mampir di toko kelontong ini untuk membeli minyak kepala, gandum, gula, teh, kopi, dan beras. Mau ditaruh mana lagi ya kira-kira itu belanjaan tambahan. Ah, tidak perlu ku pikirkan dalam-dalam. Saatnya membeli semua pesanan ibuk dan kembali pulang.
Beras sudah. Minyak kelapa 2 liter sudah. Ubi, wortel, cabai, kentang, seledri, kubis, bawang merah dan bawang putih sudah. Setelah mengecek barang belanjaan dua kali dapat ku pastikan semua pesanan ibu lengkap.
Sudah berjalan setengah perjalanan menuju rumah, aku baru menyadari bahwa ada satu pesanan ibuku yang belum aku beli. Garam. Astaga kenapa sampai lupa membeli barang yang satu ini padahal jika memasak tanpanya masakannya akan terasa hambar.
Keadaan pasar kontras sekali dengan keadaan saat aku datang tadi pagi. Lihatlah kursi-kursi tempat Mang Ojo berjualan bubur berantakan tak karuan. Telur ayam milik Bu Salamah juga banyak yang berhamburan. Pecah.

“Apa yang barusan terjadi, Bu?”
“Anu dek, tadi Bu Imah datang menagih utang… dan..” jawab Bu Salamah
“Bu Imah? Bagaimana pula ia tega menghancukan separuh dari dagangan Ibu? Tega sekali itu rentenir!”

Aku menggeram dalam hati. Kesal rasanya melihat rakyat kecil seperti kami ini diinjak-injak. Orang kota memang tak pernah tulus dalam membantu. Katanya memberikan bantuan untuk modal usaha, tapi dengan bunga 10% tiap bulannya. Apa itu namanya bantuan? Bukan bagi kami, tapi ya bagi mereka. Bantuan untuk mempertebal kantong dan membesar perut rakusnya.

***
21 April. Sekolahku mengadakan acara hari kartinian. Siswa-siswi wajib memakai kebaya dan baju adat jawa. Sebelum berangkat sekolah aku mampir salon untuk berganti kebaya dan sedikit make up, walau sebenarnya aku paling nggak suka pakai bedak. Dan betapa terkejutnya saat aku melihat Rania bersama Bu Imah di salon tempatku menyewa kebaya.
Aku tahu ibu Rania seorang rentenir. Yang aku tidak tahu adalah ibunya Rania ternyata orang yang tiga hari lalu membuat kerusuhan di pasar. Amat disayangkan bidadari seperti Rania harus mempunyai ibu yang kejam dan tak berperikemanusiaan. Melihat paras serta hatinya yang cantik membuat hatiku tak tega. Andai kita boleh memilih dari siapa kita akan dilahirkan. Tapi sayangnya tak boleh. Tuhan telah memberikan garisnya masing-masing. Dari rahim siapa ia akan dilahirkan dan dengan siapa mereka akan tinggal.
Memang tak seperti biasanya salon tepi jalan ini ramai. Mungkin nggak cuma sekolahku yang mengadakan perayaan hari kartini. Dan mungkin tidak hanya sekolahku yang mewajibkan seluruh siswanya memakai kebaya dan baju adat jawa. Mungkin juga nggak cuma salon ini yang ramai pengunjung. Saking ramainya aku diurutan tujuh untuk make up dan memilih kebaya. Setibanya giliranku, aku memilih kebaya yang pas dan tidak terlalu mewah. Mengingat nggak banyak uang yang aku bawa.
***

Benar-benar menakjubkan setibanya aku di sekolah. Anak-anak perempuan terlihat cantik dengan kebaya mereka masing-masing. Ada yang memakai kebaya warna ungu, merah, hijau, biru, lengkap berwarna-warni. Ada yang digelung layaknya pengantin baru. Ada yang mengenakan jilbab seperti aku dan ada pula yang rambutnya dibiarkan tergerai tanpa kunciran.
21 April kali ini benar-benar berkesan di hati. Acara demi acara berjalan dengan lancar. Semuanya menyenangkan. Saat dimas dan diajeng bergandengan. Ganteng dan cantik. Serasi sekali. Apalagi Rania dan Rifangga. Sorak-sorai bersahutan, olok-olok untuk dimas diajeng kelas lain pun bercucuran. Semua kelas ingin menjadi juara. Ingin dimas dan diajeng perwakilan kelasnyalah yang menang.
Semua kesenangan itu berakhir ketika Rania menerima telpon dan menangis. Segera aku menghampirinya. Menanyakan apa yang teradi. Tapi Rania enggan untuk menjawab. Jangankan menjawab. Untuk menoleh ke arahku saja ia tak mau. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Rania? Aku mencoba bertanya pada Rifangga kekasihnya. Ternyata Rifangga pun tak tau apa yang menyebabkan Rania menangis, yang dia tau Rania menangis setelah menerima telpon dari ibunya.

***
Malam ini Adhi Restu genap berusia tujuh tahun. Ibukku sudah menyiapkan bermacam-macam makanan untuk merayakannya. Ada nasi kuning, ikan goreng, ayam, telur, tempe kering, sambal. Adhi yang paling lahap menyantap makanan-makanan ini. Tidak hanya Adhi. Nugraha pun demikian. Hanya aku yang tidak makan banyak malam ini. Aku memikirkan Rania. Aku memutuskan besok pagi untuk datang menemuinya.
Ternyata tak perlu menunggu esok pagi untuk mengetahui alasan Rania menangis. Pesan singkat dari Rifangga sudah menjelaskan semuanya “Sal, baca Koran edisi hari ini hal. 2”.
‘PEJABAT TERLIBAT KASUS KORUPSI, Rumah dan Hartanya di sita’
Ayah, kini aku tak sekedar tahu maksud petuah ayah. Kini aku lebih dari tahu. Aku mengerti petuah ayah waktu itu, “sesuatu yang kamu lihat nikmat itu tak senikmat ketika kamu merasakannya, tapi sesuatu yang kamu rasakan nikmat pasti sesuatu itu lebih nikmat dari apa yang kamu lihat”. Tapi ayah, ada satu hal yang Salsabila tidak mengerti. Bukankah pepatah mengatakan ‘Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’. Bagaimana bisa seorang pejabat negara koruptor dan renternir mempunyai buah hati malaikat seperti Rania.
“Apapun yang ada didunia ini tak pasti, Nak, Terkadang pepatah pun dapat disangkal. Tak selamanya buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Boleh jadi buah itu jatuh sebelum menjadi buah dan jatuh tertiup angin entah kemana sehingga si buah masak di tempat yang jauh dari pohonnya.”
“Seperti buah mangga yang saat ini kita makan kan, Yah. Dipetik dari pohonnya ketika belum matang dan akan matang saat sampai di tangan pembelinya.” Jawabku yakin.
Ayah mengangguk dan berkata, “Ya”.


-SELESAI-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar