Karya
: Uswatun Hasanah
Namaku Salsabila,
terlahir dari keluarga yang sederhana. Sederhana layaknya keluarga-keluarga
lainnnya. Satu ayah, satu ibu, hanya saja nggak punya kakak. Adik dua dan
laki-laki semua. Ayahku seorang petani bernama Prasetyo dan aku bangga punya
ayah seorang petani. Ya, walau pekerjaan ini kalah gengsi dengan orang-orang
yang berdasi, setidaknya menjadi petani hanya punya sedikit peluang untuk
korupsi karna memang tak ada yang bisa dikorupsi. Setiap pagi ayahku memikul
cangkul dan berpakaian tidak rapi memang, tapi setidaknnya hatinya tetap suci
dengan selalu menyapa orang-orang yang ia lewati, hal yang sangat mustahil
dilakukan orang-orang bermobil mewah seperti tetangga sebelah. Fiuhh!!
Seperti yang ku bilang tadi, keluargaku memang
sederhana. Menjalani rutinitas dengan sederhana pula. Jika setiap pagi ayahku
harus berjalan menuju sawah dengan membawa cangkul, ibuku setiap pagi harus
menyiapkan keperluan keluarga layaknya ibu rumah tangga normal lainnya.
Sarapan. Tak pernah lupa ibu untuk menyiapkan hal yang dianggap sepele oleh
ibu-ibu kantoran yang setiap pagi harus sudah rapi. Dan hey mana sudi mereka menyentuh piring-piring kosong apalagi
peralatan masak di sapur. Semua urusan ini mereka anggap beres dengan membayar
manusia lain untuk menyelesaikan tugas yang seharusnya ibu-ibu rumah tangga
lakukan. Namun urusan ini tak sepele bagi ibuku, urusan menyiapkan sarapan baginya
bukan hanya sekedar membuat masakan enak, membuatkan susu, menyiapkan bekal
sekolah. Urusan ini soal cinta dan pengabdiannya sebagai seorang istri yang
mencari ridho sang suami.
Dua adik. Itu artinya
dua karakter manusia yang berbeda lagi dalam keluargaku. Si Bungsu Adhi Restu
baru berusia 5 tahun 8 bulan. Usia yang mungkin masih terlalu dini untuk duduk
di bangku kelas satu sekolah dasar, adikku ini memang lebih cerdas dari
anak-anak seusianya. Sejak lima bulan sebelum masuk SD adikku Adhi sudah bisa
membaca walau masih dieja. Dan tepat sebulan sebelum pendaftaran, Adhi sudah
bisa menulis. Tak heran jika Adhi diterima di SD favorit kecamatan desa kami.
Adik yang paling jago kalo membuat kakaknya jengkel karna ulahnya ini, selain
pandai juga dapat dikategorikan sebagai anak cengeng. Tak mau disalahkan
padahal jelas-jelas dia salah. Persis seperti ketika Adhi mengaji bersamaku.
“Bismillahirrahmanirrahiim.”
….
“Abyadhu minallah…
afdholu min kum..”
“Kalau nun mati bertemu
kaf itu bacanya ‘ng’ Dhi. Ayo ulangi”
“Bener kok yang Adhi
baca!”
“Salah Adhi. Ayo
ulangi!!!”
“………….”
“Bener!! Buk, Kak Salsa
nakal…”
***
Sarapan pagi ini
standar. Nasi. Orak-arik. Telur ceplok. Air putih. Dan ditutup dengan buah
murah meriah harganya. Papaya. Hanya saja satu yang membuat sarapan setiap pagi
terasa lebih dari standar canda tawa dan keributan antara aku dan Adhi membuat
pagi yang sejatinya di luar sana mendung menjadi sebaliknya di ruang makan yang
kebetulan sekaligus menjadi ruang tamu karna memang rumah kami tidak
menyediakan ruangan khusus untuk makan. Rumah dengan luar 10x9 meter yang kami
tempati hanya cukup untuk membuat satu kamar tamu, 3 kamar tidur, dapur dan
kamar mandi serta gudang penyimpanan padi.
Pagi ini hari memang mendung.
Oleh sebagian orang dianggap cuaca tidak mendukung untuk beraktivitaslah. Cuaca
buruklah. Cuaca tak bersahabarlah. Atau berbagai macam keluh kesah lainnya. Ah,
bukankah manusia memang hobi untuk mengomentari suatu hal. Dan bukankah kalau
dipikir-pikir amat lucu. Ketika cuaca mendung orang-orang berkeluh kesah soal
cucian tak keringlah, jalanan beceklah, ke kantor jadi basah. Dan ketika terik
matahari bersinar dengan gagahnya orang-orang bilang panaslah, bikin itemlah,
harus pake sunblock, kemana-mana
susah harus bawa payung. Hey, bukankah kalian sendirilah yang membuat susah dan
ribet dalam urusan cuaca.
Berbeda dengan yang
orang lakukan saat cuaca tak berpihak kepada mereka, ayahku tak pernah mengeluh
untuk urusan cuaca macam ini, bahkan walau terkadang ayah gagal panen karna
salah memprediksi cuaca. Tapi ayah selalu mengajarkan kalimat sederhana bahwa
cuaca tidak akan pernah menyesuaikan kebutuhan manusia dan seharusnya
manusialah yang menyesuaikan cuaca, jadi buat apa mengeluhkan cuaca yang tidak
sesuai dengan keinginan kita. Ayah benar, cuaca memang tidak akan pernah
menyesuaikan keinginan manusia karna jika cuaca menyesuaikan keinginan manusia
itu berarti dalam sehari akan ada berapa macam cuaca karna di dunia ini ada
bermacam manusia pula.
Cuaca buruk pun beda
pandangan lagi di mata adik saya Nugraha. Adikku yang pendiam dan tak banyak berbicara.
Namun dibalik sikapnya yang seperti itu dia terlampau dewasa untuk anak
seusianya. Dalam menyelesaikan masalah pun terkadang lebih bijaksana daripada
saya. Mungkin pepatah ‘diam itu emas’
berlaku buat adikku. Pun pagi ini, semenjak sarapan tadi ku perhatikan ia hanya
makan tanpa suara dipojok meja. Aku dan Adhi sibuk bertengkar ia hanya makan
dan tak menggubris apa yang terjadi di meja makan. Diam. Bahkan cuaca semacam
ini tak membuatnya banyak berubah. Entahlah apa yang selalu adikku pikirkan
dalam banyak diam-diam yang ia lalui. Aku tak tahu.
***
Ruang kelas terlihat
rapi seperti biasanya. Meja dan kursi selalu menempati tempatnya dan tak pernah
berpindah kecuali si penghuni memindahkannya. Kelas ini masih menggunakan papan
tulis sebagai layar ilmu setiap guru yang hendak membagi ilmunya. Kapur tulis
tertata rapi di kanan papan tulis pun dengan penghapusnya. Lantainya yang masih
bertegel membuat suasana ruang kelas
serasa kelas jaman SD dulu.
Guru disini selalu
masuk kelas tepat pada waktunya. Tidak. Tidak selalu nyatanya. Sudah 10 menit
dari bel belum satu pun guru masuk kelas. Bukan masalah besar. Justru menjadi
kabar menyenangkan karna berarti jam bermain-main dan temu kangen dengan teman
sebangku bertambah.
Aku? Jangan tanyakan
soal aku. Aku duduk sendiri. Tak ada teman sebangku yang ku ajak bicara. 10
menit terasa membosankan. Sebagai murid pindahan kelas sebelah, kelas ini sulit
untuk menyesuaikan karakterku. Tidak. Bukan kelas ini yang sulit menyesuaikan
tapi aku yang sulit beradaptasi dengan kelas ini. Mewah. Glamor. Orang-orangnya
yang sombong membuat aku sulit untuk menyesuaikan kelas ini. Mengingat aku
hanya gadis sederhana. Dari keluarga yang tak begitu berada. Hidup dengan
kemewahan seperti mereka tidak sesuai dengan kehidupanku.
Salam dari Bu Anna
menyadarkan lamunanku. Hey siapa
gadis itu. Sepertinya murid baru. Dan sepertinya orang kaya. Sialnya aku harus
sebangku dengannya karena hanya memang kursi disebelahkulah yang masih kosong.
Dengan perkenalan yang standar berjabat tangan, sebut nama dan ia pun menyebut
namanya. Rania. Murid baru ini namanya Rania. Tinggal di perumahan elit di
kota. Agaknya jika dilihat dari senyuman dan caranya menerima jabat tanganku
tadi, Rania ini tidak sombong. Syukurlah.
***
“Kak, ambilkan sepatu
Adhi.”
“Enak aja! Ambil
sendiri!”
“Kak Salsa galak! Adhi
nggak suka. Gitu aja nggak mau ngambilin”
“Nggak pake kata sandi
sih.”
Seperti biasa, setiap
pagi rumah tengah sawahku ini selalu ramai kalau paginya adalah Hari Senin.
Hari dimana weekend sudah berakhir
dan pelajar-pelajar seperti aku dan adik-adikku harus bangun pagi, sarapan
pagi, mandi pagi dan tentunya olah raga mulut pagi karna setiap pagi harus adu
mulut dengan adik-adikku. Entah bererbut kamar mandi, berebut tempat duduk atau
masalah sepele seperti ketika adikku menyuruhku mengambilkan sepatu.
“Kan sudah kakak bilang
kalo mau nyuruh-nyuruh tu pake kata sandi ‘tolong’. Emangnya kakak budak!”
Sudah tugasku sebagai
anak sulung untuk memberikan pelajaran-pelajaran hidup dan kehidupan kepada
adik-adikkku, bahkan hanya untuk sekedar mengajarkan kata ‘tolong’ setiap pagi
saat adikku selalu menyuruhku mengambilkan sesuatu. Entah itu tas, sepatu,
sarapan, bahkan kaos kaki. Sebab dulu ibukku sempat berpesan kepadaku “Salsabila, kamu sebagai sulung ibu. Ibu
menaruh banyak harapan di pundakmu. Jadilah teladan dan guru bagi adik-adikmu
setelah ibu ya Nak”.
Berat. Memang berat
ketika sebuah amanat disandarkan ke pundak kita. Untuk anak yang baru saja
menginjak dewasa sepertiku memang tidak mudah untuk mengemban amanat ini.
Setidaknya amanat ini jauh dari peluang untuk korupsi. Karna memang bukan
amanat untuk menjadi pejabat atau pegawai negeri. Melainkan untuk menjadi kakak
yang meneladani dan menggurui. Tidak. Tidak untuk menggurui sepertinya, hanya
saja mengajari.
***
Sempurna. Sunrise pagi
ini sempurna menandai cerahnya pagi. Mungkin sepanjang hari cuaca akan cerah
seperti ini. Burung berkicau dengan merdunya, ayam jago yang tak mau kalah pula
dengan kokoknya. Induk ayam beserta
anak-anaknya yang sibuk mencari sisa nasi untuk sarapan pagi dan ibuku juga tak
ketinggalan dengan ritual paginya. Memasak. Dengan dapur yang hanya 2x3 meter ,sarapan
pagi yang dihidangkan selalu istimewa. Karna ibukku menyiapkan dengan bumbu
rahasia. Cinta.
Sepanjang perjalanan
menuju sekolah semua berjalan sesuai kodratnya. Seorang ayah berdasi dan berjas
rapi dengan mobil mewahnnya berjalan menuju kantornya. Ibuk-ibuk berkeranjang
dengan baju seadanya berjalan pulang dari pasar dengan sayur belanjaannya.
Anak-anak berseragam merah putih, bertopi dan berdasi menuju gerbang SD Tunas
Melati. Mereka tidak keliru untuk menjalani aktivitas paginya. Pun denganku.
Berseragam putih abu-abu menuju gerbang SMA Harapan Bangsa.
Aktivitas di sekolah
pun berjalan normal. Siswa-siswi berbaris lengkap dengan dasi dan topi untuk
mengikuti upacara bendera. Matahari yang enggan menurunkan suhunya membuat
banyak siswi jatuh pingsan. Ternyata tak semua orang bahagia dengan cerahnya
pagi ini. Ah terkadang memang selalu begitu. Hal yang menurut kita
membahagiakan belum tentu mendatangkan hal serupa di mata orang lain.
***
Jalan menuju rumah
Rania tak semenyenangkan jalan menuju rumahku. Jika hendak menuju rumahku akan banyak
dijumpai pohon rambutan, pohon manga tetangga sebelah, anak-anak yang dikejar
pemilik pohon manga karna mengambil manga nggak bilang-bilang, pak tani yang
sedang duduk di pinggir sawah usai membajak, pohon kelapa disana-sini, juga tak
ketinggalan ibuk-ibuk yang mengomel karna anaknya bandel nggak mau mandi sampai
sesiang ini.
Sepanjang jalan menuju
rumah Rania hanya tiga hal yang aku jumpai. Satu, jalan raya dengan warna
dominan hitam dengan garis putih ditengahnya. Dua, kendaraan roda dua, roda
empat dan roda enam yang saling berebut jalan untuk menjadi yang terdepan.
Tiga, nenek-nenek hendak menyebrang jalan.
Benar Rania adalah
orang kaya. Lihat saja, rumahnya paling besar dari rumha-rumah sekitarnya.
Kira-kira luas halamannya saja 5x6 meter, belum rumahnya yang berlantai dua.
Dinding bercat putih bersih membuat rumah ini makin terlihat megah. Ruang tamunya
lumayan besar. Dengan sofa dan guci mewah dipojok ruangan. Tak salah lagi kalau
keluarga Rania memang orang berada. Pigura foto keluarga di depan memberitahuku
bahwa Rania adalah anak tunggal tanpa aku harus bertanya. Sepertinya
menyenangkan menjadi anak satu-satunya dalam keluarga, karna hanya akan ada
satu yang dimanja, satu yang diberi uang jajan, satu yang akan selalu disayang.
Tak akan pernah disalahkan saat adik nangis. Tak pernah dituntut untuk menjadi
teladan bagi adik-adiknya.
Belum klimaks
khayalanku jadi anak tunggal, Rania sudah kembali dari dapur dengan nampan
berisi 2 gelas orange juice dan 2
toples makanan ringan. Benar saja banyak lelaki naksir Rania, coba kau lihat,
senyumnya saja aduhai manis sekali, ditambah hatinya yang baik, kaya, pandai
pula. Sepertinya hidup bahagia tu seperti Rania ini. Tapi bukankah ayahku pernah
bilang “sesuatu
yang kamu lihat nikmat itu tak senikmat ketika kamu merasakannya, tapi sesuatu
yang kamu rasakan nikmat pasti sesuatu itu lebih nikmat dari apa yang kamu
lihat”.
Ayah. Ternyata kau
memang selalu benar. Petuah-petuah dan nasihat yang selalu kau berikan terbukti
benar. Aku tahu sekarang maksud ayah. Dan jawaban dari petuah itu ada pada diri
Rania. Tak kusangka anak dengan segala kebaikan hatinya mempunyai ibu seorang
rentenir. Senyum manis yang selalu ia biarkan berkembang dibibirnya ternyata
meyimpan beban derita yang mendalam. Tak pernah aku tahu kalau kehidupan Rania
tak sesempurna yang aku bayangkan. Kini definisiku tentang ‘hidup bahagia tu seperti hidupnya Rania’
berubah 180 derajat.
Aku yang bukan termasuk dalam golongan
orang-orang berada bisa dibilang lebih bahagia dibanding Rania yang termasuk
dalam golongan orang berada. Karna tak dapat disangkal bahwa tak selamanya uang
akan membawa kebahagiaan sebab kebahagiaan tak dapat dibeli dengan uang.
Kebahagiaan itu soal hati dan perasaan, tak dapat dibuat-buat atau bahkan
diperjual belikan. Ibukku memang hanya seorang ibu rumah tangga tak
berpenghasilan karna hanya ayahku yang mencari nafkah dalam keluarga kami. Tapi
setidaknya ibukku tidak akan mencari uang tambahan dengan cara tidak hahal
macam rentenir.
Perekonomian keluarga
Rania diatas perekonomian keluargaku memang. Dengan ayah seorang pejabat daerah
saja menurutku penghasilannya sudah lebih dari cukup. Tetapi ibu Rania sudah
dibutakan oleh nafsu dunia. Gaji pokok yang diberikan sang suami ternyata tidak
cukup sehingga membuatnya harus mencari uang dengan berbagai cara. Tak kenal
halal, tak kenal haram, yang ia kenal asal itu menghasilkan uang maka jadilah
pekerjaan tersebut menjadi profesi. Tak heran jika perekonomian Rania lebih
dari rata-rata.
***
Rania. Seorang figure yang sempurna di mataku. Gadis cantik
berambut panjang tergerai memancarkan aura cantik yang begitu menawan. Lesung
pipit pipi kanannya menambah manis setiap senyuman yang merekah dibibirnya.
Mata lebar, hidung mancung, gigi seperti biji timun yang berjajar rapi
dimulutnya serta kulit putih bersih yang ia punya membuat Rania secara fisik
terlihat sempurna. Belum lagi perilakunya. Jika ada yang jatuh ia segera
menolong, ada guru keberatan membawa barang bawaan, secara reflek ia akan
langsung menolongnya, saat melihat teman sebangkunya ini kesulitan pada sebuah
mata pelajaran, pasti ia tak sungkan untuk menjelaskan ulang.
Remaja dengan usia 17
tahun ini tumbuh baik dengan sempurna. Dewasa pada waktunya. Baru kemarin ia
menginjak usia tujuh belas tapi sepertinya ia layak disebut remaja dengan usia
dua puluh. Bagaimana tidak, Rania mampu hidup dalam lingkungan keluarga yang
tidak seprinsip dengannya. Keluarga yang tidak mendukungnya untuk menjadi
seorang remaja yang berguna bagi lingkungannya. Tapi lewat keluarga yang
seperti inilah Rania belajar tentang arti kesabaran, hakikat perjuangan, dan makna
ketangguhan dalam menghadapi kehidupan yang tak sesuai keinginan kita.
Aku yang seusia
dengannya mana sanggup setiap pagi harus mendengar ibuk dan ayahku bertengkar
hanya gara-gara uang. Mendengar setiap keluhan ibu kepada ayah soal biaya hidup
mahal. Meminta setiap apa yang diinginnya dengan cara yang tidak masuk akal. Boro-boro masuk, sebelum masuk akal udah
mental duluan. Tapi ini tidak berlaku bagi Rania. Ia mampu bertahan dalam
setiap pertengkaran yang terjadi antara ibu dan ayahnya. Ia selalu sabar
menasehati pekerjaan ibunya yang tidak halal walau lebih sering kena marah
daripada penghargaan. Ia selalu tegar ketika semua yang hendak dilakukannya
ditolak mentah-mentah. Tak direstui.
Ya Tuhanku, bidadari
macam apa yang telah melahirkan dan mendidik gadis remaja seperti Rania. Bagaimana
orang tuanya mengajarkan semua pelajaran hidup kepada gadis ini sehinga ia tumbuh
dewasa dengan sempurna. Tumbuh dewasa dengan senyum yang selalu meneduhkan. Bahkan
sebelum sempat kita berkeluh kesah tentang beban hidup yang kita alami, hanya dengan
melihat senyumnya saja telah mampu membuat hati ini tenang.
Ku pikir Rania mempunyai
sosok ayah yang bijaksana sehingga tumbuh menjadi remaja tanggung yang begitu
dewasa. Ku pikir Rania mempunyai ibu yang lemah lembut, santun dalam kata,
sopan dalam berbicara, dan mampu mengajarkan pelajaran-pelajaran hidup dan
kehidupan dengan baik dan penuh dengan kasih sayang. Keliru. Ternyata semua
yang aku pikirkan keliru. Riani tak pernah mempunyai ayah yang bijaksana. Walaupun
ia seorang pejabat negara. Rania juga tak pernah mempunyai ibu seperti apa yang
aku bayangan. Bahkan jauh dari apa yang aku bayangkan. Rania mempunyai ibu
seorang rentenir. Dan boleh percaya atau tidak, itu faktanya. Rania tumbuh
dewasa dengan ayah dan ibu yang gila harta.
***
Minggu kliwon. Saatnya aku
melakukan kebiasaan minggu pagi belanja di pasar untuk membantu ibuku. Pagi ini
pasar terlihat ramai seperti biasanya. Penjual ikan asin sedang tawar-menawar
dengan seorang pembeli yang ngotot ingin membeli ikan asin dengan harga 3000
perkranjang. Sudah tahu harga apa-apa mahal semenjak kenaikan BBM masih tega
saja tuh ibuk-ibuk nawarnya. Penjual beras yang ramai dikerubung pembeli. Maklum
saja makanan pokok negeri ini adalah beras. Coba makanan pokok negeri ini
gandum, pasti bukan penjual beras yang tak pernah sepi pelanggan melainkan
penjual gandum.
Toko kelontong dekat
pasar juga tak pernah sepi pelanggan. Selain tempatnya yang lebih nyaman untuk
berbelanja, harga di toko ini juga tak terlalu jauh dengan harga kebutuhan
pokok yang ada di dalam pasar. Mungkin hanya selisih berapa perak saja. Ibuk-ibuk
dengan keranjang belanjaan penuh sayur pun masih belum puas dengan
belanjaannya. Masih sempat mampir di toko kelontong ini untuk membeli minyak
kepala, gandum, gula, teh, kopi, dan beras. Mau ditaruh mana lagi ya kira-kira
itu belanjaan tambahan. Ah, tidak perlu ku pikirkan dalam-dalam. Saatnya membeli
semua pesanan ibuk dan kembali pulang.
Beras sudah. Minyak kelapa
2 liter sudah. Ubi, wortel, cabai, kentang, seledri, kubis, bawang merah dan
bawang putih sudah. Setelah mengecek barang belanjaan dua kali dapat ku pastikan
semua pesanan ibu lengkap.
Sudah berjalan setengah
perjalanan menuju rumah, aku baru menyadari bahwa ada satu pesanan ibuku yang
belum aku beli. Garam. Astaga kenapa sampai lupa membeli barang yang satu ini
padahal jika memasak tanpanya masakannya akan terasa hambar.
Keadaan pasar kontras sekali
dengan keadaan saat aku datang tadi pagi. Lihatlah kursi-kursi tempat Mang Ojo berjualan
bubur berantakan tak karuan. Telur ayam milik Bu Salamah juga banyak yang
berhamburan. Pecah.
“Apa yang barusan
terjadi, Bu?”
“Anu dek, tadi Bu Imah
datang menagih utang… dan..” jawab Bu Salamah
“Bu Imah? Bagaimana pula
ia tega menghancukan separuh dari dagangan Ibu? Tega sekali itu rentenir!”
Aku menggeram dalam
hati. Kesal rasanya melihat rakyat kecil seperti kami ini diinjak-injak. Orang kota
memang tak pernah tulus dalam membantu. Katanya memberikan bantuan untuk modal
usaha, tapi dengan bunga 10% tiap bulannya. Apa itu namanya bantuan? Bukan bagi
kami, tapi ya bagi mereka. Bantuan untuk mempertebal kantong dan membesar perut
rakusnya.
***
21 April. Sekolahku mengadakan
acara hari kartinian. Siswa-siswi wajib memakai kebaya dan baju adat jawa. Sebelum
berangkat sekolah aku mampir salon untuk berganti kebaya dan sedikit make up, walau sebenarnya aku paling
nggak suka pakai bedak. Dan betapa terkejutnya saat aku melihat Rania bersama
Bu Imah di salon tempatku menyewa kebaya.
Aku tahu ibu Rania
seorang rentenir. Yang aku tidak tahu adalah ibunya Rania ternyata orang yang
tiga hari lalu membuat kerusuhan di pasar. Amat disayangkan bidadari seperti
Rania harus mempunyai ibu yang kejam dan tak berperikemanusiaan. Melihat paras
serta hatinya yang cantik membuat hatiku tak tega. Andai kita boleh memilih
dari siapa kita akan dilahirkan. Tapi sayangnya tak boleh. Tuhan telah
memberikan garisnya masing-masing. Dari rahim siapa ia akan dilahirkan dan
dengan siapa mereka akan tinggal.
Memang tak seperti
biasanya salon tepi jalan ini ramai. Mungkin nggak cuma sekolahku yang
mengadakan perayaan hari kartini. Dan mungkin tidak hanya sekolahku yang
mewajibkan seluruh siswanya memakai kebaya dan baju adat jawa. Mungkin juga
nggak cuma salon ini yang ramai pengunjung. Saking ramainya aku diurutan tujuh untuk
make up dan memilih kebaya. Setibanya
giliranku, aku memilih kebaya yang pas dan tidak terlalu mewah. Mengingat nggak
banyak uang yang aku bawa.
***
Benar-benar menakjubkan
setibanya aku di sekolah. Anak-anak perempuan terlihat cantik dengan kebaya
mereka masing-masing. Ada yang memakai kebaya warna ungu, merah, hijau, biru, lengkap
berwarna-warni. Ada yang digelung layaknya pengantin baru. Ada yang mengenakan
jilbab seperti aku dan ada pula yang rambutnya dibiarkan tergerai tanpa kunciran.
21 April kali ini
benar-benar berkesan di hati. Acara demi acara berjalan dengan lancar. Semuanya
menyenangkan. Saat dimas dan diajeng bergandengan. Ganteng dan cantik. Serasi sekali.
Apalagi Rania dan Rifangga. Sorak-sorai bersahutan, olok-olok untuk dimas
diajeng kelas lain pun bercucuran. Semua kelas ingin menjadi juara. Ingin dimas
dan diajeng perwakilan kelasnyalah yang menang.
Semua kesenangan itu
berakhir ketika Rania menerima telpon dan menangis. Segera aku menghampirinya. Menanyakan
apa yang teradi. Tapi Rania enggan untuk menjawab. Jangankan menjawab. Untuk menoleh
ke arahku saja ia tak mau. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Rania? Aku mencoba
bertanya pada Rifangga kekasihnya. Ternyata Rifangga pun tak tau apa yang
menyebabkan Rania menangis, yang dia tau Rania menangis setelah menerima telpon
dari ibunya.
***
Malam ini Adhi Restu
genap berusia tujuh tahun. Ibukku sudah menyiapkan bermacam-macam makanan untuk
merayakannya. Ada nasi kuning, ikan goreng, ayam, telur, tempe kering, sambal. Adhi
yang paling lahap menyantap makanan-makanan ini. Tidak hanya Adhi. Nugraha pun
demikian. Hanya aku yang tidak makan banyak malam ini. Aku memikirkan Rania. Aku
memutuskan besok pagi untuk datang menemuinya.
Ternyata tak perlu
menunggu esok pagi untuk mengetahui alasan Rania menangis. Pesan singkat dari
Rifangga sudah menjelaskan semuanya “Sal,
baca Koran edisi hari ini hal. 2”.
‘PEJABAT TERLIBAT KASUS
KORUPSI, Rumah dan Hartanya di sita’
Ayah, kini aku tak
sekedar tahu maksud petuah ayah. Kini aku lebih dari tahu. Aku mengerti petuah
ayah waktu itu, “sesuatu yang kamu lihat nikmat itu tak senikmat
ketika kamu merasakannya, tapi sesuatu yang kamu rasakan nikmat pasti sesuatu
itu lebih nikmat dari apa yang kamu lihat”. Tapi
ayah, ada satu hal yang Salsabila tidak mengerti. Bukankah pepatah mengatakan ‘Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’. Bagaimana
bisa seorang pejabat negara koruptor dan renternir mempunyai buah hati malaikat
seperti Rania.
“Apapun
yang ada didunia ini tak pasti, Nak, Terkadang pepatah pun dapat disangkal. Tak
selamanya buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Boleh jadi buah itu jatuh sebelum
menjadi buah dan jatuh tertiup angin entah kemana sehingga si buah masak di
tempat yang jauh dari pohonnya.”
“Seperti
buah mangga yang saat ini kita makan kan, Yah. Dipetik dari pohonnya ketika
belum matang dan akan matang saat sampai di tangan pembelinya.” Jawabku yakin.
Ayah
mengangguk dan berkata, “Ya”.
-SELESAI-