Pertandingan basket
antar kelas saat class meeting SMA N
2 Sejahtera dimenangkan oleh kelas XI IPS yang dikapteni Irawati. Kemenangan
ini mengukir senyum di wajah para pemain, namun tidak untuk sang kapten. Setiap
hari Ira memang terkenal dengan senyum yang selalu terukir di wajahnya, namun
siapa sangka jika senyuman yang selama ini ia tebarkan hanyalah tipuan. Selama
ini dalam hati ia selalu menaruh rindu yang mendalam.
Sebotol
air putih yang dibawa Ira tiba-tiba terjatuh di lantai beserta tubuh Ira yang
mungil. Anak-anak basket yang berada didekatnya segera mengambil tindakan dan
membawanya ke UKS sekolah. Mereka merasa ada yang aneh dengan sikap Ira
akhir-akhir ini dan tidak biasanya setelah pertandingan dia pingsan.
“Guys,nggak biasanya Ira pingsan kayak
gini?”, tanya Tika seusai membaringkan tubuh mungil Ira di kasur UKS.
“Iya,nggak
bisanya. Apa jangan-jangan Ira sakit? Tapi kenapa maksa ikut pertandingan?”,
Jawab Lia teman sebangku Ira penasaran.
“Ma..Maa..
jem..put I..ra Ma.. I..ra ke..sepi..an.”, terdengar suara lirih dari bibir
merah Ira beserta setetes air mata yang cukup jelas untuk didengar teman-temannya.
“Alhamdulillah,..bangun
Ra. Ini minum dulu.”, sapa Lia seraya mengulurkan segelas air putih.
Setelah
tersadar dan meminum segelas air pemberian Lia segeralah Ira bangun dan hendak
menuju ke kelas, namun teman-temannya melarang sebab Ira masih pucat dan
jalannya pun masih sempoyongan.
“Istirahatlah
dulu Ra”, ucap Lia penuh perhatian.
“Aku
mau ke kelas Li dan segera pulang. Aku nggak papa kok.”, ucap Ira meyakinkan
Lia bahwa keadaannya sudah membaik.
Lia
tak dapat berkata apa-apa dan membiarkan Ira ke kelas mengambil tasnya dan
menuju parkir sepeda SMA 2 Sejahtera yang memang menjunjung tinggi aksi cinta
lingkungan dengan menyediakan parkir sepeda yang luas dan indah serta
menganjurkan siswa yang rumahnya tak lebih dari 8KM untuk menggunakan sepeda ke
sekolah.
Hening.
Di rumah, Ira memang selalu kesepian oleh karenanya dia jarang untuk pulang
pagi dari sekolah karena biasanya dia mengahabiskan waktunya sampai sore di
sekolah. Entah untuk mengikuti pembinaan olim kebumian-lah, rapat DA-lah, rapat
PMR-lah, atau pun untuk ekstra musik. Ira memang sangat berbakat dalam bidang
musik,selain suaranya yang merdu ia juga pandai bermain piano dan gitar.
Prestasinya
dalam bidang musik juga beragam mulai dari juara 1 paduan suara sekabupaten
saat TK, juara 3 provinsi lomba macapat saat SD, juara harapan 2 tingkat
nasional nyanyi saat SMP, dan prestasinya terakhir adalah juara 3 band tingkat
nasional. Ira merupakan vokalis cewek dari band JustWe yang beranggotakan
Musthofa di bass, Aji pegang di melodis, Angga di ritmis, dan Munir di Drum.
JustWe sudah berhasil menciptakan 3 buah lagu yang berjudul Biarlah, Cinta
Pertama dan Pengabdian.
Prestasi
Ira bukan hanya dalam bidang musik saja, namun prestasi dalam intrakuliler pun
tak kalah ketinggalan. Ira pernah menjuarai OSN Matematika tingkat kabupaten
sewaktu masih menduduki bangku kelas X, namun kini Ira bebalik haluan untuk
mengikuti OSN kebumian dan beruntungnya gadis mungil nan manis ini terpilih
untuk mewakili OSN kebumian di kabupaten. Keberuntungan itu bukan semata karena
keberuntungan dari dewi fortuna melainkan Ira mamang anak yang rajin dan
pantaslah jika ia terpilih untuk mewakili OSN kebumian tingkat kabupaten.
Pagi
ini Ira ada jadwal untuk mengikuti audisi band. Ya..walau hanya audisi band
tingkat provinsi namun Ira selalu ingin tampil semaksimal mungkin karena tak
ingin mengecewakan para fans JustWe yang kabarnya sudah menyebar ke penjuru
dunia (si penulis sedikit lebay haha :D). Pagi-pagi buta Ira sudah menyetrika
baju yang hendak ia kenakan dan dandan seperfect
mungkin. Setelah jam menunjukkan pukul 07.30 segeralah ia berangkat dengan
sepeda kesayangannya menuju rumah Musthofa.
Sesampainya
di rumah Musthofa Ira segera memarkir sepedanya dibawah pohon mangga dan menuju
ke sebuah ruangan dimana Aji,Angga dan Munir sudah menunggunya.
“Maaf
telat. Banyak kerjaan tadi.”, Kata Ira dengan nafas terengah-engah.
“Iya
gapapa. Maklum loe kan cewek,pasti banyak kerjaan yang mananti. Hahahahaha”,
Canda Angga yang memang anaknya humoris.
Puas
si Angga, Aji, Munir dan Ira bercanda segeralah mereka menuju mobil Aji dan
melesat menuju sebuah universitas yang mengadakan audisi band untuk acara
hiburan pra-MOS-nya kelak.
“Waahh.
Ini kampus gede banget ya bro!”, Ira
yang tak pernah keliling-keliling melihat suasana luar desanya kagum melihat
kampus yang sangat besar.
“Gausah
norak deh Ra,kayak ga pernah liat aja.”,Bentak Munir kesal dengan keudikan si
Ira.
Ira
sangat sebal kalau mulut Munir yang sinis itu berkata. Ira dari awal memang ga
suka kalau harus Munir yang menjadi drummer JustWe karena sifat Munir yang
sangat kontras dengan mereka bertiga. Si Aji yang sifatnya cool abis tapi jujur apa adanya, Si Musthofa yang gokil, humoris
dan menerima teman apa adanya, Si Angga yang sok kegantengan layaknya Joshapat
‘KMI’ tapi selalu terbuka, super lucu dan super humoris. Si Ira cewek yang
lucu,murah senyum,gokil dan apa adanya dengan kondisinya, sedangkan Si Munir
sok kecakepan, munafik, judes dan garing abis. Akan tetapi Ira,Aji dan Angga
selalu menerima apa adanya sifat yang dimiliki Munir karena jika tanpa Munir
apalah jadinya JustWe.
Akhirnya
kumandang adzan dhuhur bergema. Segeralah Aji, Angga, Ira dan Musthofa mengambil
air wudhu untuk menunaikan sholat dhuhur di masjid kampus. Sebelum Ira pisah
dengan Aji dan kawan-kawan karena jenis kelamin mereka beda dan otomatis tempat
wudhunya pun beda, sempat terjadi perdebatan kecil antara Ira dan Musthofa.
“Eh
Ra hati-hati lhoo sendirian. Ada katak di tempat wudhunya. Hahaha”, Musthofa
berusaha menakuti Ira yang memang pobia terhadap katak.
“Eh..
mana ada katak di kampus elit kayak gini. Gausah nakut-nakutin deh (:P).”, kata
Ira sambil teriak berusaha meyakinkan diri bahwa tidak mungkin ada katak di
kampus seelit ini.
Seusai
sembahyang dan berdoa mereka berkumpul lagi di depan masjid dan bersiap untuk tampil
karena dari tadi pagi mereka belum tampil sebab nomor undian mereka menunjukkan
angka 59 yang artinya itu nomor 3 dari belakang.
“Ngga.
Bisa-bisa kita tampil udah malem dan orang-orang pada pulang karena udah malem
terus kita tampil nggak ada penontonnya dan itu nggak asyik banget dan kita kan
terbiasa dilihat banyak orang. Huhuhu gimana ini?”, Gaya alay Ira kambuh karena
sudah lumutan menunggu panggilan nomor undiannya untuk tampil.
“Terus
gue harus bilang waow. Hahahahaha. Alaynya nggak usah kambuh dong Ra. Plis deh
ah.”, Angga membalas kealayan Ira dengan gaya alaynya.
Tak
terasa kini waktu menunjukkan pukul 17.00 p.m. Seusai melaksanakan kewajiban
sholat ‘ashar mereka memutuskan untuk makan karena cacing dalam purut mereka
telah berdendang ikuti irama kelaparan yang diderita.
Dugaan
Ira ternyata benar. Mereka tampil seusai ‘isyak. Tepatnya pukulnya 20.00 p.m
namun dugaannya sedikit meleset. Orang-orang masih banyak bertebaran di wilayah
kampus dan penampilan mereka pun maksimal, mantap dan tak mengecewakan para
juri.
Ira
sampai di rumah diantarkan Musthofa dengan mobilnya karena ia tak tega
membiarkan gadis mungil ini pulang sendirian malam-malam dengan sepeda.
“Besok
sepedanya aku bawa sekolah dan kamu bisa ambil setelah pulang. Jadi nggak perlu
mengambilnya di rumahku. Oke ?” , Pesan Musthofa kepada Ira setelah tiba di
rumah Ira.
“Oke
bro. Aku masuk dulu ya. Daa.”, Jawab Ira dengan singkat karena tubuhnya sudah
lelah, dan mengantuk lemas.
Paginya
Ira harus bangun pagi karena ia harus berangkat sekolah jalan kaki sebab
sepedanya berada di rumah Musthofa. Pukul 05.50 a.m Ira sudah mulai
melangkahkan kakinya berjalan menuju sekolah tempat ia biasanya mencari ilmu.
Di
sepanjang jalan memang sepi dan Ira sangat benci dengan kesepian karena sepi
itu selalu mengantarkannya pada sebuah kesedihan dan kerinduan yang selama ini
ia pendam. Yakni kerinduan kepada sosok yang selalu dibanggakan oleh semua
orang. Ibu. Ira sedari kecil memang tak tahu dimana ibunya bahkan foto wanita
hebat itu pun ia tak punya. Tak banyak memang yang mengetahui hidupnya yang
malang ini. Hanya Angga, Aji, Musthofa, Lia yang tahu dan Ira tak mau semua
orang tahu soal ini.
Air
mata Ira tak tertahan lagi. Di perjalanan menuju sekolah ia sempat duduk di
kursi dekat taman dan meluapkan kesedihan dan kerinduannya kepada ibu yang
telah melahirkannya namun kini tak ia ketahui dimana keberadaannya. Ira memang
tak seberuntung teman-temannya yang bisa selalu bersanding dengan kedua orang
tuanya,bisa bermanja-manja dengan kedua orang tuanya, tamasya bersama kedua
orang tuanya. Sejak kecil bahkan sejak Ira belum mengenal kata kecil ia tak
pernah bertemu dengan kedua orang tuanya. Selama ini yang merawat dan
membesarkannya adalah neneknya.
Sesampainya
di sekolah mata lebamnya yang dapat ia sembunyikan. Muka sedihnya pun tak dapat
ia buang ke jalan. Hal itu membuat Lia teman sebangkunya bertanya dengan wajah
serius kepada Ira dan Ira hanya menjawab dengan dua kata “nggak papa”. Tak puas
dengan jawaban itu Lia terus bertanya kepada Ira dan berharap Ira menceritakan
masalah yang dialami kepadanya.
“Aku
nggak papa Lia. Nggak usah tanya lagi. Sebentar lagi Pak Roni masuk kelas!”,
Ira dengan nada sedikit marah menutup pertanyaan yang Lia lontarkan kepadanya
bersamaan dengan hadirnya Guru Matematika.
Jam
mata pelajaran pertama Ira pun buyar. Hal serupa dialami oleh Lia karena
penasaran dengan apa yang membuat Ira yang biasanya semangat dan ceria datang
ke sekolah menjadi sedih dan murung bak kain kusut tak terpakai lagi.
Jam
istirahat pun datang. Ira bergegas keluar dan Lia berusaha mengikuti langkahnya
namun Ira berusaha unutk mempercepat langkahnya agar Lia tidak menyamai
langkahnya. Lia menyerah. Ia sadar Ira sedang tak ingin diganggu dan Lia
memutuskan untuk ke perpustakaan dan tidak mengikuti Ira ke kantin.
Di
perpusakaan inilah biasanya Ira berada jika sedang ada masalah dengan
teman-temannya atau neneknya. Lain halnya dengan hari ini. Bukannya Ira yang berada
di perpustakaan karena terlihat banyak masalah,ini justru Lia yang kebingungan
memikirkan masalah Ira dengan menyendiri di perpustakaan sekolah.
Dipojok
kanan tepatnya pada rak buku referensi nampak sosok yang tak asing lagi bagi
Lia. Angga. Ya..Angga juga merupakan salah satu dari banyak teman baik yang
dimiliki Ira. Lia mendekati Angga dan mencoba menanyakan keadaan Ira. Siapa
tahu Angga tahu dengan apa yang dialami Ira.
“Ngga,tahu
kabar Ira nggak?”,Tanya Lia tanpa basa-basi.
“Enggak.
Dari tadi pagi gue belum liat tu batang hidungnya Ira.”
Ternyata
Angga pun tak mengetahui apa yang sedang terjadi pada Ira. Lia pun semakin
penasaran. Rasanya ingin sekali memaksa Ira untuk menceritakan apa yang sedang
menimpanya hingga merusak hari yang seharusnya bahagia. Rasa penasaran Lia tak
sebanding dengan ketakutan yang ia alami. Ia takut kalau ia memaksa Ira untuk
menceritakan masalahnya akan membuat Ira marah dan tidak mau lagi berteman
dengannya. Akhirnya dibiarkannya rasa penasaran itu sampai bel pulang sekolah
berbunyi.
Lia
akhirnya buka mulut untuk memulai pembicaraan dengan Ira karena sejak pagi
mereka hanya diam tanpa sapa dan senyum.
“Ra,pulang
bareng yuk. Aku naik sepeda kok.”
“Nggak
mau ah aku mau pulang sendiri aja. Oh ya maaf ya Li dari tadi pagi aku hanya
diamin kamu bahkan aku bentak-bentak kamu. Aku nggak maksud gitu kok.”, Papar
Ira.
“Iya
gapapa kok Ra,aku juga minta maaf kalau maksa kamu buat cerita dan ingin tahu
urusan kamu.”, Jawab Lia dengan raut wajah penyesalan.
Ira
pulang bersepeda sendirian karena menolak ajakan Lia namun Ira tak
menyesalinya. Saat ini ia hanya ingin sendiri, sendiri dan sendiri. Keadaan ini
membuat Ira sering menyendiri saat sekolah bahkan menolak jika ada temannya
yang hendak main ke rumahnya untuk belajar bersama atau sekedar say hello.
Kebiasaan
menyendiri yang dialami Ira telah berlangsung selama seminggu ini. Bahkan saat
diajak untuk latihan band pun Ira menolak. Padahal sebentar lagi tutup tahun
SMA N 2 Sejahtera akan segera dilaksanakan namun Ira tetap saja menolak untuk
diajak latihan. Hal ini membuat para personil JustWe curiga kecuali Munir.
Disaat seperti ini ide konyol Munir tercetus. Ia mengusulkan mencari vokalis
sementara pengganti Ira selama ia vakum. Serentak ketiga personil yang lain
menolak dan tidak suka kata vakum terucap atas ketidakmauan Ira untuk latihan.
“Nggak
bisa seenaknya cari vokalis sementara dong. Mana kekompakan kita? Harusnya loe
tu sebagai anggota JustWe mengerti dong keadaan Ira dan membantu jika Ira
sedang ada masalah, tapi apa? Kamu justru mengusulkan ide BODOH !!”, Angga
marah begitu mendengar ide yang baru saja Munir sampaikan malalui mulutnya
dengan tampang tanpa dosa.
“TERSERAH
! gue keluar dari band ini. Muak gue!”, Kemarahan Munir pun menjadi-jadi.
“Silahkan,kita
juga nggak butuh pengkhiatan kayak…….”
“STOOOP
!!”, Tiba-tiba terdengar teriakan dari ujung sehingga memotong kata-kata yang
hendak Angga lontarkan pada Munir.
“Kalian
ini satu tim. Harusnya kalian tu kompak dan solid.”, Ucap Lia yang berhasil
menenangkan suasana di sebuah ruangan kecil yang biasa disebut studio.
Suasana
hening kini menyelimuti sebuah ruangan studio yang seharusnya ramai dengan
suara petikan gitar, dentuman bass dan pukulan drum. Angga menundukkan kepala
dan menyesal dengan apa yang telah ia lakukan keada Munir dan Munir pun
menyesali dengan ide yang tak sengaja ia sampaikan sehingga membuat kekacauan.
Sebenci-bencinya Munir pada Ira,ia pun menyadari bahwa band yang sudah dua
tahun berdiri ini tak akan menjadi seperti saat ini jika tanpa adanya Ira
sebagai vokalis yang selalu berusaha tampil prima dan maksimal.
Ira
berhasil membuat JustWe diambang perpecahan. Ia pun berhasil selama hampir
sebulan menyendiri dan Ira juga berhasil menurunkan prestasi yang selama ini ia
dapatkan. Peringkat dikelas turun, peringkat parelel pun turun tiga kali lipat
yang biasanya mendapatkan peringkat 5 paralel kini harus mendapat peringkat 15
pararel.
Akhir-akhir
ini Ira memang tak punya semangat belajar. Bahkan semangat berangkat sekolah
pun luntur. Semanjak sepi yang melandanya tempo lalu. Ia hanya termenung dan
membayangkan betapa bahagianya jika mamanya menemui dan mengajaknya jalan-jalan
ke mall layaknya mama dan anak yang dilakukan orang kebanyakan.
Bel
pulang sekolah berbunyi namun Ira tak segera menuju parkiran. Ia malah menuju
sebuah pohon kelengkeng di halaman sekolah yang kala itu sedang berbuah.tak
banyak memang anak-anak yang menginginkan berada di bawah pohon kelengkeng yang
sudah sangat tua untuk bercengkrama atau hanya sekedar duduk santai.
“Ra,apa
yang kamu lakukan di situ?”, sapa Tika yang kebetulan lewat pohon kelengkeng
yang ada Ira dibawahnya termenung dengan pensil dan sebuah kertas di tangannya.
“Aku
sedang berbicara dengan seseorang yang sangat spesial.”, jawab Ira dengan
sedikit senyuman yang tulus.
Tika
hanya berlalu mendengar jawaban Ira yang ngaco. Tak digubrisnya apa yang sedang
Ir alakukan sebab ia juga terburu-buru akan menghadiri rapat OSIS di ruang 20.
Setelah berada lima meter dari arha dimana Ira duduk,Tika baru tersadar bahwa
apa yang dilakukan Ira tak masuk akal. “Gimana bisa dia berbicara dengan orang
spesial sedang disekitarnya tak ada satu pun orang yang dapt ia ajak berbicara
kecuali aku yang sempat mengajaknya bicara. Tapi apakah aku yang dimaksud orang
spesial itu? Ah mana mungkin. Lalu siapa?”, Tika bergumam dalam hati karena
baru menyadari ada yang aneh dengan Lia.
Tika
memutuskan untuk kembali dan menemui Ira yang masih termenung sambil sesekali
senyum tipis di bawah pohon kelengkeng yang sangat sejuk. Ia tak menyapanya
dari jauh melainkan langsung duduk di samping kanan Ira dan melihat apa
sebenarnya yang Ira lakukan. Ternyata kertas yang Ira bawa berisi dialog-dialog
yang cukup panjang. Antara Ira dan mama. Ya mama. Dalam kertas itu bertuliskan
Ira dan mama Ira.
|
Janggal. Benar-benar
janggal. Kenapa Ira tak mengetahui rupa wanita yang selama ini mengasuhnya.
Wanita yang rela mati hanya untk keselamatan anaknya. Aneh. Ini benar-benar
aneh. Begitulah otak Tika berfikir setelah membaca dialog-dialog yang ada dalam
kertas genggaman Ira.
“Ra,
memangnya mama kamu dimana? Ke luar kota ya?”, Tika memulai sebuah percakapan.
“Mamaku
jauh sekali dan aku nggak tahu dimana Beliau berada sejak aku belum mengenal
kata belum.”, jawab Ira dengan tetesan air mata yang menetesi kertas yang ada
di tangannya.
“Loh
kok?”, Tika terkejut, heran dan mati penasaran.
“Aku
memang tak pernah melihat wajah orangtuaku sejak aku hidup di dunia ini. Bahkan
foto mereka pun aku tak punya. Huhuhuhuhuhu.”, tangisan Ira kini meledak dan
airmatanya membasahi baju putih Ira.
“Tapi
dalam kertas itu kamu menulis ….”, belum sempat Tika menyelesaikan
pertanyaannya karena tipe orang yang mempunyai rasa penasaran yang tinggi, Ira
sudah menjawabnya.
“Memang,sekarang
aku punya fotonya tapi mugin ini sudah 20 tahun yang lalu saat mamaku duduk di
bangku sekoah menengah pertama.”, seraya menyerahkan foto kusam kepda Tika.
Ira
tak mampu menahan kesedihannya. Ia meluapkan semuanya kepada Tika, salah satu teman
yang ia percayai. Ira menceritakan semuanya kepada Tika,mulai dari kesepian
itu,hingga kesedihan ini.
Tika
memaklumi. Ya .. Tika sangat memaklumi bila akhir-akhir ini Ira banyak
menyendiri, melamun dan kadang tersenyum sendiri. Ini tekanan batin dan mungkin
bila Tika yang berada dalam posisi Ira Tika sudah nekat mengakhiri hidupnya
karena tak mampu mengahadapi semua ini. Namun lain dengan Ira,ia gadis kuat dan
tegar, walau terkadang ia merasa tak mampu toh akhirnya ia juga mampu menahan
diri unutk tidak melakukan hal ceroboh seperti Tika bila berada pada posisinya.
“Mama
kamu cantik Ra. Jangan sedih lagi ya, suatu saat kamu pasti akan bertemu
Beliau. Kamu ini gadis pintar Ra,percuma jika kamu berlarut-larut dalam
kesedihan dan menganggurkan potensi yang kamu miliki. Bangkitlah Ra dan
buktikan kepada mamamu bahwa perjuanganmu itu secantik wajah mamamu.”
Hati
Ira luluh dan memantapkan tekadnya untuk kembali menjadi anak yang produktif
dengan menganggukkan kata-kata Tika seraya berkata “YA”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar