Subuh
di Pondok Pesantren Fadhlun Minallah tak pernah sepi aktivitas. Di kompleks
putri hampir seluruh santri bangun sebelum ayam berkokok, namun tidak untuk
Tita Adrina Zafira yang merupakan penghuni baru pesantren.
ADEGAN
1
Bantal
guling telah tertata di pojok kiri, lima almari pakaian kecil berjajar di kiri
kasur yang terlipat rapi pada kamar
dengan luas 4 x 3 meter. Pagi itu terdengar suara seorang santri tengah
membangunkan kawan sekamarnya.
Nisfya : “Tita ! Bangun !! Sudah adzan
subuh tuh. Kapan sampeyan (kamu dalam bahasa jawa) bisa bangun tepat waktu dan nggak
kena hukum dewan ketertiban pondok. Salat subuh berjamaah tu pahalanya gede banget,
ingat nggak to yang dikatakan Ustad Antony kemarin. Bangun Tita !!”
Tita : “Hoaammm… Iya bawel ini
juga udah melek tapi nyawanya belum ngumpul semua, tunggu sampai malaikat
pencabut nyawa ngembalikin nyawanya dulu ya. Sepuluh menit lagi langsung salat
subuh wes.”
Nisfya : “Sampeyan ini, setiap dibangunin selalu kayak gitu alasannya. Nggak
kapok apa udah dihukum tiap hari sama Mbak Romlah yang galaknya minta ampun.
Nggak kapok sampeyan ! Awas saja
kalau nanti dihukum, pokoknya aku nggak mau tahu yang penting kewajibanku untuk
mengingatkan teman sudah gugur. Sudah nggak dosa lagi aku.”
Tita : “Iya..iya ini sudah bangun
Nis…” (berjalan sempoyongan sambil mengulap liur di pipi)
Nisfya : “Sampeyan ini santri baru di sini. Mbok ya jangan sering-sering bikin kerjaan dewan ketertiban sibuk mengurusi
kelakuan sampeyan ini. Kebiasaan
molormu di rumah tu mbok ya
dihilangkan. Orang tuamu masukin sampeyan
ke pondok ini ya pasti karena tingkah lakumu ini dan pasti menginginkan adanya
perubahan baik pada anaknya, tapi ini anaknya kok malah tambah ndableg.”
Tita : “Sudahlah Nisfya cantik.
Tita yang imut mau wudhu dulu terus salat subuh. Kamu duluan aja ya nanti
ketingalan jamaahnya dihukum sama mbak galak tahu rasa lho hahahahaha”
Nisfya : “Lho lho, sampeyan ini kalau dibilangin selalu saja tertawa. Kalau aku ini simbokmu sudah tak jewer sampeyan. Kalau ada yang menasihati tu
ya didengerin ! Ya sudah aku ke masjid dulu tapi ingat nanti langsung nyusul ke
masjid, awas kalau balik tidur lagi. Kata Mbak Opi bisa pikun kalau habis subuh
balik tidur lagi ahihihi.”
Nisfya
berjalan menuju masjid sedang Tita berjalan berlawanan arah menuju kamar mandi.
ADEGAN
2
Aula
pondok mulai ramai sesudah adzan ‘asar. Beberapa santriwati bergegas menuju
aula dengan menenteng Kamus Al-Munawwir, kitab kuning serta bolpoin digenggaman
tangan.
Hani : “Masya allah Nis, sore ini jadwal sorogan (membaca kitab gundul dihadapan ustad/ah untuk disimak)
sama mbak Zakiyah ya? Aku lupa belum ngerjain jatahku. Gimana ya? Apa aku ke
POSKETREN (pos kesehatan pesantren) aja ya? Terus nanti kamu bilang Mbak Zakiyah
kalau aku sakit. Gimana?”
Nisfya : “Ndak mau ah Mbak Han, nanti aku yang dosa kalau berbohong sama Mbak
Zakiyah. Takut malaikat ‘atidku melaksanakan tugas dan catatan kejelekanku
bertambah. Apa sampeyan ndak takut
malaikat ‘atidmu bertugas Mbak?”
Hani : “Sekali ini aja Nis kamu
bantu aku. Aku takut disuruh berdiri di depan terus jatahku minggu depan
ditambah. Mbak Zakiyah kan kejam Nis. Kamu tahu kan? Dulu aja ada santriwati
dari kompleks Fatimah Az-Zahra yang belum ngerjain jatah sorogannya terus
disuruh berdiri di depan dengan kamus munawwir diatas kepala. Bayangin Nis !
Kamus munawwir tu berat banget, untuk mukul maling aja pasti pingsan tu maling.”
Nisfya : “Apa sampeyan lebih takut sama hukuman dari Mbak Zakiyah dari pada
hukuman dari Allah di akhirat mbesok?
Bahkan hukuman paling berat di akhirat tu
kalau ujung kakimu di letakkan diatas bara api maka mendidihlah kepalamu. Ndak takut kamu Mbak Han? Mbak Zakiyah
kayak gitu kan supaya para santrinya disiplin dan bertanggung jawab. Bukankah
seharusnya santri yang lain bisa belajar dari hukuman yang pernah terjadi
supaya tidak melakukan kesalahan yang sama? Harusnya Mbak Hani yang lebih
senior dari saya lebih paham itu.”
Hani : “Ugh……..Ehh…….”
Nisfya : “Kalau Mbak Hani tetap ndak mau mengakui kesalahan dan
melarikan diri jangan bawa Nisfya ikut ke neraka dengan disuruh berbohong ya. Afwan, (maaf dalam bahasa arab) Nisfya
duluan. Assalamu’alaikum”
Hani : “Wa’alaikumsalam…..”
ADEGAN
3
Suasana
aula pondok semakin sunyi saat Mbak Zakiyah memasuki aula. Suara santri yang
semula sahut-menyahut berlatih membaca sebaris demi sebaris kitab kuning tanpa
harakat mulai melirih.
Mbak
Zakiyah : “Assalamu’alaikum...”
Santriwari : “Wa’alaikumsalam warahmatullahi
wabarakatuh.”
Mbak
Zakiyah : “Santriwati semua. Afwan, hari ini Mbak Zakiyah nggak bisa
ngajar. Jadwal sorogan diundur minggu
depan. Bu Nyai masuk rumah sakit. Sekarang Mbak Zakiyah ada jadwal ngurus ndalem. Afwan nggeh. Assalamu’alaikum”
Santriwati : “Wa’alaikumsalam…”
Hani
tiba-tiba masuk dan duduk di sebelah Nisfya setelah Mbak Zakiyah pergi meninggalkan
aula.
Nisfya : “Mbak Hani jadi berangkat? Udah
selesai mengerjakan jatah sorogannya?”
Hani : “Belum Nis. Tapi apa yang
kamu katakan tadi benar juga. Aku malu sebagai senior satu tahun diatas kamu
tapi malah berpikiran begitu dan putus asa dengan hukuman dunia. Maafin aku ya”
(tersenyum)
Nisfya : “Iya mbak, ndak papa namanya juga manusia tempatnya salah dan dosa. Nisfya
paham itu sejak kecil Mbak. Dulu almarhumah ibuku sering bilang kayak gitu dan
berpesan agar aku tidak seperti manusia pada umumnya dan seminimal mungkin
menghindari dosa. Walau tak dapat dipungkiri khilaf itu pasti ada.”
Hani : “Eh, afwan jadi keinget ibu kamu ya. Ndak
ada maksud aku.”
Nisfya : “Ndak papa Mbak, sekarang mungkin ibuku sudah bahagia melihat
anaknya masuk pesantren. Dulu ibuku punya cita-cita masukin anaknya ke pesantren
tapi ayahku selalu ndak setuju.
Katanya buat apa masuk pesantren, nanti dikira anaknya bodoh karena tidak bisa
masuk sekolah negeri, bapak saya selalu berpikiran seorang anak yang masuk
pesantren itu karena nakal atau kalau enggak ya nilainya tidak diterima di
sekolah negeri.”
Hani : “Masyarakat awam memang
selalu berpendapat seperti itu. Banyak yang mengartikan pesantren hanya untuk
anak-anak urakan, padahal ndak gitu
juga. Eh, tapi kenapa sekarang ayah kamu ngijinin kamu masuk pesantren ini?”
Nisfya : “Aku juga ndak tahu pasti Mbak kenapa ayahku tiba-tiba mengijinkanku masuk
pesantren. Mungkin karena kepergian ibuku ayah jadi sadar bahwa argumen
mengenai pesantren yang selama ini ia pegang salah. Eh Mbak aula mulai sepi,
balik ke kamar saja yuk.”
Berjalan
menuju kamar mereka di kompleks Aisyah. Dalam perjalanan Nisfya melihat Tita
berada di tengah lapangan di hadapan mbak Romlah.
Mbak
Romlah : “Sudah berapa kali saya bilang.
Kalau santri baru itu, tiap sore ngaji pesholatan sama mbak Ummi. Bukannya
makan di dapur umum. Jatah makan semua santri di dapur umum itu sama. Tiga kali sehari, pagi, siang, malam. Apa buku
panduan santri baru yang mbak berikan seminggu yang lalu tidak cukup jelas?
Sekarang hukuman harus kamu terima. Push-up 20 kali. Cepat !”
Tita : “Tapi, siang tadi saya
belum makan mbak. Lagi pula tadi setelah makan niatnya juga berangkat ngaji
pesholatan. Nih kalo nggak percaya kitabnya saja sudah bawa !” (menyodorkan
kitab kepada mbak Romlah).
Mbak
Romlah : “Jangan banyak alasan ! Push-up
!”
Tita : “Fiuuuhh..sialan
(mengumpat dalam hati dan segera mengambil posisi push-up)”
Mbak
Romlah : “Mulai ! Satu ! Dua ! ……”
Dengan
penuh keberanian Nisfya berjalan mendekati Mbak Romlah.
Nisfya : “Assalamu’alaikum Mbak.”
Mbak
Romlah : “Wa’alaikumsalam. Eh kamu
Nisfya ya? Yang kemarin menang lomba baca kitab gundul waktu milad (hari lahir) pondok?”
Nisfya : “Na’am (ya dalam bahasa arab). Ada waktu sebentar ndak Mbak? Ada yang mau saya bicarakan.”
Mbak
Romlah : “Soal apa ya? Bicarakan saja monggo (silahkan dalam bahasa jawa).
(menatap tajam kea rah Tita) Kamu Tita, tetap lanjutkan push-up sampai genap 20 kali !”
Nisfya : “Di kolam ikan dekat kompleks
Fatimah ya Mbak bicaranya. Biar dapat inspirasi hehe.”
Mbak
Romlah : “Ndak bisa dibicarakan disini saja? Lha ini siapa yang bakal
mengawasi Tita kalau saya kamu ajak bicaranya di kolam ikan?”
Nisfya : “Sampeyan percaya saja mbak sama saya. Tita ini jujur, nggak wes kalau dia mengurangi jumlah
hitugannya hehe. Mari Mbak.”
Berjalan
menuju kolam ikan.
ADEGAN
4
Temaram
senja di dekat kolam. Terlihat dua orang berbincang dengan asyiknya. Nisfya
Aqauli Nitaqoin dengan salah seorang anggota dewan keamanan, Nur Romlah
Nasihati.
Nisfya : “Nisfya ada sedikit unek-unek
Mbak. Semoga Mbak ndak keberatan
mendengarkannya, syukur kalau Mbak mau menanggapinya.”
Mbak
Romlah : “Dengan senang hati mbak akan
mendengarkannya. Tapi kenapa harus mbak yang dipercayai menanggapi unek-unek
Nisfya? Sedikit aneh, kamu belum kenal mbak, bahkan mbak juga ndak kenal dengan kamu lebih jauh.”
Nisfya : “Terkadang kepercayaan
datangnya dari hati, tanpa harus mengenal seseorang lebih dalam jika hati yakin
ya yakin.” (tersenyum meyakinkan)
Mbak
Romlah : “Iya deh iya. Sekarang
unek-uneknya apa? Keburu maghrib. Nanti unek-uneknya belum kelar adzannya udah
dating. Nggak asyik dong kalau harus bersambung hehe.”
Nisfya : “Gini lho Mbak, Nisfya mau Tanya,
ada nggak sih Mbak seseorang yang tercipta dengan hati baik, tulus, penuh kasih
sayang namun harus dilahirkan di lingkungan yang memaksa semua sifat baik dan
tulusnya tertutup dengan hati yang sejatinya bukan hatinya. Menjadi hati yang
frustasi dan brontak?”
Mbak
Romlah : “Dalam Kitab Arba’in Nawawiwah
kalau mbak ndak salah inget.
Disebutkan bahwa takdir baik jahatnya seseorang sudah ditentukan. Jika A
ditakdirkan menjadi orang baik, ya si A akan menjadi orang baik sampai
akhirnya, tapi sebaliknya jika si A ditakdirkan menjadi orang jahat, ya si A
akan menjadi orang jahat diakhirnya. Namun hadits ini tidak bisa dipahami apa
adanya begitu saja. Allah pun befirman, Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali
kaum itu sendiri merubahnya. Kita bisa mejadikan takdir kita ke golongan takdir
orang baik jika kita beusaha supaya takdir itu ya takdir orang baik. Siapa yang
tahu? Takdir itu kan rahasia Allah. Kita hanya bisa berusaha, dengan
memperdalam ilmu, banyak beribadah, menjadikan majlis ngaji sebagai temat yang
sering dikunjungi, mempertebal iman. Iya kan?”
Nisfya : “Nah kalau soal hati yang
brontak tadi Mbak? Orang itu sejatinya baik hati, namun ia dijatuhkan dalam
lingkungan yang membuat hatinya brontak?”
Mbak
Romlah : “Seseorang dengan hati baik
namun harus brontak karena tuntutan atau lebih tepatnya lingkungannya tidak
mendukung. Begitu maksudmu?”
Nisfya : (Mengangguk)
Mbak
Romlah : “Pertanyaanmu sulit ya Nis,
mbak jawab sepengetahuan mbak ya. Mungkin beda hati beda pendapat. Jawaban
pertanyaanmu ini relatif Nis. Kalau menurut mbak hal itu mungkin saja terjadi,
setiap orang mempunyai nurani dan berhak membrontak jika apa yang ada
dihadapannya tidak sesuai dengan nuraninya. Diilustrasikan saja, si A lahir di
lingkungan yang membuatnya tidak nyaman, akhirnya dia terbiasa melawan padahal
sejatinya hatinya lelah dengan segala usaha melawan keadaannya itu. Dan
kebiasaan itu terbawa kemana-mana bahkan saat ia menemukan lingkungan yang
sejatinya baik dan pas.”
Nisfya : “Hal itu yang terjadi pada Tita
Mbak. Nisfya yakin Mbak tahu apa yang tersirat dari pembicaraan ini dan jauh
lebih paham apa yang sebaiknya harus dilakukan. Assalamu’alaikum.” (pergi
meninggalkan Mbak Romlah)
ADEGAN
5
Ahad
subuh, ketika mentari masih malu untuk bersinar. Seluruh santri putri mulai
dari kompleks Fatimah hingga Aisyah heboh dengan berita kaburnya seorang santri
dari kompleks Aisyah.
Lia : “Rif, udah dengar kabar
kaburnya santriwati dari kompleks Aisyah belum? Katanya sejak tengah malam tadi
tim keamanan udah berusaha ngejar tapi tetep aja tu anak nggak bisa dikejar.
Keburu kabur duluan.”
Rifa : “Ah masak sih ada yang
berani-beraninya kabur dari wilayah penjara surga kayak gini? Peraturannya kan
ketat banget. Bisa kena hukuman berat itu kalau tertangkap. Apalagi anggota
dewan keamanannya galaknya jos gandhos.
Njih to Mbakyu? Emangnya kabur karena
opo to? Tahu ndak kamu?”
Lia : “Kalau denger-denger sih
karena dia nggak tahan dengan semua aktivitas dan kehidupan di pesantren. Apalagi
pesantren tempat kita ini, yang ketatnya minta ampun. Dan juga dia masih santri
baru di sini, jadi wajar saja to.”
Rifa : “Owalah gitu to Mbakyu. Tapi bukankah semua peraturan pondok ini
demi kebaikan santrinya ya? Supaya kita bisa jadi lebih baik. Kan tujuan orang
tua kita masukin anaknya ke pondok ya supaya anaknya baik dan pintar. Terkadang
suatu kebiasaan baik juga perlu pemaksaan. Enggeh
to Mbakyu?”
Lia : “Betul itu betul. Tapi ndak semua orang mengerti teori
pemaksaanmu yang dalam tanda kutip itu. Hanya manusia yang mau berpikir seperti
kita ini yang dapat memahami teorimu ahihihihi. Sudahlah ndak baik ngomongin orang terus, ntar jadi menggunjing dapat dosa
kita. Berangkat jamaah salat saja yuk keburu suara iqamah Ustad Somad nan merdu
berkumandang.”
Rifa : “Siap Mbak bos. Eh Mbak
tapi aku masih penasaran deh siapa ya kira-kira yang nekat dan cari perkara
sama dewan keamanan dengan cara kabur dari pondok seperti itu. Nggak ada cara
yang lebih menyeramkan apa ya? Atau jangan-jangan……..”
Tiba-tiba
dari kejauhan nampak Muna lari tergopoh-gopoh dengan sajadah tersampir di
pundak.
Muna : “Li, Rif. Udah denger
kabar…..”
Rifa
& Lia : “Sudah mbak Muna
biangnya gosip pesantren !! Kabar berita kaburnya santriwati dari kompleks Aisyah
tadi malam kan? Dan tim keamanan pondok
gagal mengejarnya?”
Muna : “Waah kalian ini sok tahu ! Ketinggalan
berita. Santrinya sudah ketangkep lagi. Semalam itu memang dia berhasil lolos
melewati gerbang dan berhasil keluar sampai jalan raya, tapi sepertinya Allah
tidak memberikan ijin dia untuk kabur. Secara tidak sengaja saat ia sedang
menunggu bus di halte ada salah seorang anggota dewan keamanan yang baru aja
turun dari bus, kalau ndak salah sih
Mbak Romlah yang galaknya minta ampun itu lho dan eng ing eng… tertangkap basah
deh tu maling. Eh santri deng hehe. Tapi anehnya denger-denger santrinya itu
nggak dihukum berat lho. Ck ck ck (menggeleng). Tapi buat apa aku pikirin, yang
penting kesimpulan pelajaran hidup yang saya dapatkan hari ini adalah niat
jahat tak akan pernah diridhoi Allah subhanahu wata’ala.” (manggut-manggut)
Rifa : “Muna ini, sekali biang
gosip ya biang gosip. Berita apa pun dari pondok walau baru sejam yang lalu
pasti dia juga tahu. Apa nggak kepanasan kamu Mun tiap hari bawa berita panas
melulu hahaha. Untungnya dari semua berita yang kau sampaikan selalu ada
kesimpulannya. Pertahankan Nak. Doaku menyertaimu hahaha.” (tertawa lepas)
Lia : “Kalian ini. Sudah-sudah
jangan banyak tertawa nanti hatimu keras kayak batu baru tau rasa. Itu suara
merdu Ustad Somad sudah terdengar. Segera berangkat salat atau mau menjemput
ajal tertangkap dewan keamanan. Ayo cepat !”
Mereka
segera menuju masjid Al-Uswah Pondok Pesantren Fadhlun Minallah. Jaraknya yang
lumayan jauh dari kompleks Fatimah membuat mereka harus berlari-lari kecil dan
terengah-engah.
ADEGAN
6
Pondok
mendadak sepi ketika libur usai imtihan tiba. Hanya nampak beberapa santri yang
tidak memutuskan pulang kampung dan menghabiskan masa liburannya di pondok. Di
bawah tiang jemuran terlihat Tita sedang termenung memandang kelabunya langit
sore itu.
Tita : “Kenapa mesti kehidupan
seperti ini yang aku jalani. Kenapa ayah bunda tega memasukkanku dalam penjara
yang katanya menyenangkan, mendamaikan, membahagiakan. Ah omong kosong! Aku
nggak nyaman dengan peraturan yang memaksa bangun pagi, baca tulisan arab yang
nggak ada harakatnya. Dapat jadwal masak tiap minggu, nggak boleh keluar
nonton, hang out, ke mall, dan ke panti itu. Ya tuhan gimana kabar anak-anak
anak manis dan malang itu. Ah tapi setidaknya mereka sedikit beruntung tidak
mempunyai orang tua yang memaksa kebebesan anaknya dan mereka…..”
Belum
selesai Tita bermonolog, Nisfya yang juga memutuskan untuk menghabiskan masa
liburan usai imtihannya dengan tetap tinggal di pondok, berjalan diam-diam mendekati
Tita.
Nisfya : (mengagetkan Tita) “Daaa !!!!
Assalamu’alaikum Tita hehehe. Sampeyan mau kopi hangat ndak?”
Tita : “Wa’alaikumsalam, kamu to
Nis. Wah asik ! cuaca mendung kayak gini emang cocok kalau minum kopi hangat.
Makasih lho ya. Eh iya, kamu nggak jadi pulangkah Nisfya? Kangen rumah lho
nanti?” (dengan wajah seperti tak ada masalah dan beban, berusaha ceria dan
menggoda Nisfya)
Nisfya : “Sama-sama. Ndak jadi Ta, sepertinya menghabiskan
waktu di pondok selama liburan juga menyenangkan. Lagi pula dari tahun-tahun
kemarin tiap liburan sudah pulang. Cari suasana liburan yang beda aja hehe. Sampeyan tadi lagi ngapain to? Kelihatannya sedang berbicara sama
langit. Memangnya langit bisa mendengar ya Ta? Kenapa ndak bicara sama aku aja to kalau ada sesuatu, jelas-jelas
pendengaranku ini jauh lebih baik dan langit.”
Tita : “Kamu ini malah ngelucu
Nis. Nggak lucu tauk ! Huhh aku lagi bosen aja Nis, aku merasa nggak bahagia
dengan semua yang ada di pondok, aku ngak suka dengan aktivitas yang serba
memaksa dan nggak sesuai kehendakku. Paling nggak suka diatur-atur. Kenapa
mesti ada yang namanya peraturan sedang orang nggak nyaman dengan peraturan
itu? Bukankah setiap manusia memiliki haknya masing-masing untuk melakukan aktivitas,
kegiatan, bahkan rutinitas dalam hidupnya?”
Nisfya : “Tita, nggak semua bahagia itu
kita dapatkan karena semua kegiatan dan aktivitasnya sesuai dengan kehendak
kita. Terkadang sebuah peraturan itu penting juga dalam hidup ini. Simpelnya,
bayangin aja kalau diperempatan jalan raya yang gede itu ndak ada
peraturan kalau lampu merah behenti, lampu hijau jalan, dan kuning hati-hati,
apa yang akan terjadi? Semrawut dan
mungkin akan banyak korban. Berlaku juga buat kehidupan yang luas ini Ta.
Sebuah pemaksaan pun kadang diperlukan. Sekarang bayangin aja kamu berada di
jaman ketika listrik belum ada. Mereka harus memaksakan diri untuk tetap hangat
ketika dingin melanda dan akhirnya mereka terbiasa dengan dingin itu dan dingin
yang selama ini dingin tak akan terasa dingin karena terkadang suatu paksaan
akan menjadikan kebiasaan. Berpikirlah Ta, maka Sampeyan bakal memperoleh jawaban.”
Tita : (melongo)
Nisfya : “Adzan maghrib. Salat dulu
yuk.” (mengulurkan tangan membantu Tita bangun dari tempat ia duduk)
ADEGAN
7
Jarum
jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Di pojok kanan kamar RT 04 Pondok Pesantren
Fadhlun Minallah kompleks Aisyah, Tita Adrina Zafira tersenyum bahagia saat mendapati
teman sekamarnya masih terlelap dalam indahnya mimpi.
Tita : “Nisfya !! Bangun !! Masak
yang biasanya ngebangunin aku sekarang belum bangun. Malu ah hahaha.”
Nisfya : “Sampeyan Tita? Tita Adrina Zafira? (berbicara setengah sadar). Hahh
? beneran Tita? Sudah bangun sampeyan?
Sejak kapan sampeyan bangun sebelum ayam berkokok?”
Tita : “Pokoknya sekarang ayo
bangun, salat tahajud dan segera jamaah subuh di masjid. Oke Bu bos?”
Nisfya : “Alhamdulillah Ya Allah, segala
puji bagiMu (berkata dalam hati). Siap. Laksanakan ! Hehe.”
Tita : “Sesudah salat subuh dan
tadarus temani liat sunrise ya? Mau nggak mau pokoknya harus mau. Titik. Jumat
kan sekolah libur.”
Nisfya : “Iya deh. Apa sih yang enggak
buat Tita cantik. Hahaha.” (tertawa lepas)
Tita : “Belajar jawab lebay dari
siapa kamu? Hahaha.”
Nisfya : “Dari sampeyan Mbak Tita, siapa lagi?”
Tita : “Sudahlah. Wudhu dulu
sana. Aku salat tahajud duluan. Lama sih kamunya.” (takbiratul ihram memulai
salat)
Adzan
subuh berkumandang. Bergegas Tita menenteng sajadah hijau pemberian neneknya
ketika sebelum berangkat menuju
pesantren. Berjalan dengan hati riang dengan senyum penuh harapan.
ADEGAN
8
Di
atas bukit belakang pondok duduk dua santri masih lengkap dengan mukena melekat
pada tubuh dan sajadah di genggamannya. Suara ayam berkokok pagi itu menambah
suasana lebih membahagiakan.
Tita : “Tahu nggak alasan aku
mengajakmu melihat sunrise pagi ini?”
Nisfya : (menggeleng)
Tita : “Dulu di bawah tiang
jemuran ketika sang mentari beranjak tenggelam dan aku dalam ambang
keputuaasaan. Saat itu kau banyak membuatku berpikir dan memahami semua
perkataanmu yang menurutku benar juga. Dan kali ini aku mau sang mentari pagi
menjadi saksi kemenanganku atas penemuan diriku yang selama ini hilang. Kamu
pula yang akan menjadi saksi bahwa mulai saat ini Tita Adrina Zafira akan
memulai hidup baru seperti matahari. Terbit membawa kebahagiaan dan tenggelam
penuh dengan keindahan. Aku ingin menjadi orang yang berguna seperti layaknya
mentari, sepanjang hari selama sinarnya bersinar ia selalu memberi manfaat bagi
makhluk hidup. Dan aku akan menjadikan jasaku bermanfaat seperti mentari dengan
membangun PAUD islam bebasis pesantrean kelak setelah lulus dari pesantren ini.
Doakan aku Nisfya. Dan terimakasih sudah mengembalikan hati tentram yang selama
ini tersembunyi.”
Nisfya : (tersenyum bahagia) “Amin dan
kembali kasih Tita.”
-TAMAT-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar